NKN NEWS STICKER

Akibat imbas debu vulkanik gunung Kelud, di Mojokerto kini langka masker. Bahkan dibeberapa apotik dan swalayan juga habis

Sabtu, 24 April 2010

Prahara Lentera Sutra



Prahara Lentera Sutra.
Sebuah Cerpen : NANGKRIS

Emak dan Yuk Mi dua orang ibu dan anak yang harus selalu sibuk setiap pagi menjelang anak-anak ke sekolah. Karena keluarga sederhana ini hidup dari hasil menjual jajanan anak sekolah disamping pekerjaan Lik Sutra sebagai petugas kebersihan sekolah. Lik Sutra adalah suami Emak yang usianya jauh lebih muda dari usia Emak.

Konon menurut cerita tetangga, lamaran Lik Sutra salah alamat. Dia meminang Yuk Mi tetapi justru yang jadi isterinya adalah Emak, janda beranak satu itu.Saat dilamar Yuk Mi sebenarnya sudah akan dinikahkan dengan pria pilihan Emak, tetapi rencana itu batal hingga akhirnya Yuk Mi harus menjadi perawan tua.Patah hati mungkin?

Rumah keluarga ini mempunyai beberapa petak kamar berjajar. Paling Timur ada gudang yang difungsikan sebagai dapur kemudian sebelahnya ada ruang untuk parkir sepeda. Sebelahnya lagi adalah sebuah kamar yang ditempati kos Mas Herman, seorang pegawai negeri yang baru bekerja beberapa bulan. Sementara Yuk Mi memang berada di petak paling pojok sebelah kamar Lik Sutra .

Aku tahu betul kesibukan keluarga ini termasuk seorang pemuda yang kost di rumah itu. Karena aku hampir setiap hari menjeput Lik Sutra ke rumahnya dan menemani selama perjalanan ke sekolah. Lik Sutra membawa barang-babarang dagangan dengan sebuah sepeda kebo tua yang sudah berkarat. Ada sarung goni di boncengan sepeda itu sebagai tempat alat-alat dapur yang diperlukan untuk berjualan di warung sekolah.

”Gimana Kris, nanti malam kita cari lagi?” Lik Sutra mengawalai pembicaraan kami di sepanajng jalan setapak menuju sekolah Dasar Widodo

”Boleh.Tapi jangan sering ditinggal Pak Lik” jawabku.

”Iya, Pak Lik harus menumbuk bumbu pecel khan, kalau tidak, diomeli eMak” saut Lik Sutra sambil memainkan rokok upetnya di bibirnya yang hitam. Wajah tua Lik, mirip Franconero, bintang film koboi. Jenggot dan cambangnya tajam.

Lik Sutra sering meninggalkan kami berempat, aku, Tito, Karno dan Agus setiap mencari jangkrik di kebun jagung milik haji Fadholi. Suasana gelap apabila malam dipenuhi suara nyaring jangkrik-jangkrik yang menjadi sasaran kami di kebun itu. Apabila kami mengeluh ketakutan karena ditingalnya, maka Lik Sutra selalu memberi semangat kepada kami dengan petuahnya.

”Laki-laki tidak boleh jadi penakut. Rasa takut itu hanya diciptakan oleh pikiran kalian” kata Lik Sutra suatu saat.

Pernah kami dimarahi Emak karena Lik Sutra mengajak kami mencari jangkrik.Mungkin saja Lik Sutra ada masalah dengan Emak. Kami kecewa saat itu tidak membawa seekor jangkrikpun. Namun rencana nanti malam kami harus mendapatkan jangkrik ”jalitheng” yang selalu menjadi incaran kami.

***

Malam ini kami sudah siap mencari jangkrik di kebun jagung haji Fadholi. Dua obor sudah kami siapkan. Aku, Tito dan Karno satu obor, Agus bersama Lik Sutra. Perjalanan kami menuju kebun jagung memerlukan waktu setengah jam. Jalan setapak, sebelah kanan sebuah sungai yang deras airnya. Sungai inilah yang mengairi seluruh sawah di dusun kami. Kebun tebu dan jangung berada di ujung timur setelah areal persawahan.

”Aku nggak nonton lagi film Mannix malam ini” keluh Tito, mengawali pembicaraan setelah setengah perjalanan. ”Aku malu, setiap nonton di rumah pak Lurah, sering ketiduran” lanjut Tito.

”Kalau kamu mau nonton kenapa kamu ikut?,nonton saja” celetuk Karno.

”Jangan terlalu sering nonton TV di rumah Pak Lurah, neneknya cerewet” saran Lik Sutra kepada Tito, mungkin itu juga kepada kami yang juga sering nonton TV di rumah Pak Lurah, satu-satunya di desa kami. TV hitam putih 14 inci merek Johnson yang tutupnya dapat dilipat model harmonika.

”Habis Dunia Dalam Berita sudah pulang, lagian sungkan kalau dibuatkan kopi” lanjut Lik Sutra.

Kami sudah hampir sampai ke tempat tujuan. Sepanjang perjalanan kadang Lik Sutra cerita yang lucu-lucu sehingga membuat kami terpingkal-pingkal. Agus pernah terjungkal di pematang tanaman tebu yang lumayan tinggi. Gara-garanya kami harus menuruti komando Lik Sutra selama berjalan di pematang. Agus selalu berada diurutan ke dua dari depan setelah Lik Sutra. Sesuai komando Lik Sutra, obor baru boleh dinyalakan setelah sampai di kebun jagung.Mungkin ini sebuah efisiensi. Sehingga perjalanan di suasana gelap gulita itu hanya disinari cahaya bulan dan bayangannya di bawah sungai.

”Awas melompat” kata Lik Sutra, ketika melewati batasan pematang, kamipun dibelakangnya ikut melompat.

Suatu ketika, sial, Agus yang berada di urutan kedua itu terjungkal ketika ada pembatas pematang Lik Sutra justru tidak memberi komando,kami melihat nampak langkah Lik Sutra memang tenang. Agus melangkah juga tenang sekali.

”Jegurrrr...” Agus terjatuh ke sungai.

Mengetahui Agus terjatuh, Lik Sutra malah tertawa terpingkal-pingkal. Sepertinya memang disengaja. Tapi kami tetap larut dengan canda dan tawa, seperti larut malam yang menjemput pejalanan ini.Malam ini kami mendapat enam jangkrik jantan yang bagus-bagus dengan bunyi yang nyaring sekali. Agus telah menyiapkan tempat yang terbuat dari bambu yang dipetak-petak seperti rumah tingkat, untuk tempat jangkrik hasil kami masing-masing. Bersyukur Lik Sutra setia menemani hingga pencarian jangkri usai malam ini.

”Sudah, simpanlah jangkrik-jangkrik itu, besok setelah kamu belajar kita cari lagi yang bagus” kata Lik Sutra, sambil membasuh tangannya yang berbau minyak tanah dari obor yang terbuat dari bambu itu.

Lentera obor yang dihasilkan dari batang bambu dengan sumbu kain sobekan kaos itu sebagai lentera yang memberi penerangan bagi kami untuk mencari jangkrik. Pernah suatu malam membawa senter milik bapak yang berbaterei delapan, tapi hilang jatuh di sungai.

Begitulah dalam setiap kesempatan, kami memang anak-anak desa yang penuh kebersamaan apalagi dengan Lik Sutra yang sudah seperti pak lik kami sendiri. Penuh humor, sabar dan sering memberi kami makanan.


***

Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini kami sangat kesal pada Lik Sutra. Rokoknya ketinggalan dan harus kembali ke rumah, perjalanan baru saja beberapa langkah. Sebenarnya setiap berangkat mencari jangkrik, kami penuh kekhawatian ditinggal di kegelapan malam oleh Lik Sutra. Katanya mau kembali dan bergabung tetapi ternyata malah pulang dan tidak kembali. Meski kadang Lik Sutra membawakan kami makanan kecil seperti krupuk,kacang saat meninggalkan kami berempat, tetapi itu tetap membuat kesal.Lebih-lebih Agus merasa sangat kesal.

”Kalau hanya untuk ditinggal, kenapa Pak Lik mengajak mencari jangkrik!” keluh Agus.

Aku memahami perasaan Agus. Karena Lik Sutra sebagai partner mencari jangkrik sering meninggalkannya. Ini juga merupakan kekesalan kami berempat. Terkadang timbul niatan kami untuk menolak ajakan Pak Lik Sutra. Tapi kami sudah terlanjur senang dengan petualangan ini. Melihat eksotisnya pucuk-pucuk daun padi yang ditebari cahaya bulan. Ujungnya menari-nari kian kemari seolah memberi salam menyambut kehadiran kami. Suara katak, suara serangga malam, bagi kami itu adalah suara-suara indah.

Lokasi malam di areal persawahan ini pasti masih lebih indah dari Taman Nasional Kakadu, sebelah timur Darwin,Australia. Menurut cerita Pak Broto tetanggaku yang narsis, seorang pasca sarjana yang pernah belajar Human Resource And Development di Australia, Taman Nasional Kakadu menutupi area seluas 19.804 kilometer persegi, terbentang hampir 200 kilometer dari utara ke selatan dan lebih dari 100 kilometer dari barat ke timur. Bahkan Taman Nasional ini sebesar Israel. Tapi ini tak seberapa dibanding petualangan di areal sawah yang membentang laksana karpet Turki, di dusun Sidomukti yang indah ini.

Seperti kebiasaanku, sepulang sekolah menaruh tas, ganti baju kemudian makan siang. Ibu sedang mengobrol dengan Emak. Aku tengah menikmati sayur lodeh tewel yang dibuat ibu. Ada irisan petai China, lembaran daun jeruk purut, rajangan tahu dengan santan yang kental dan pedas. Ini masih lebih nikmat dari Lasagna, masakan Italia yang penuh daging sapi.Keringat tanpa terasa sudah mengalir di kening dan punggungku yang telanjang. Sepintas aku mendengar obrolan mereka.

Emak dan keluargaku sudah seperti saudara. Karena sebelum mempunyai rumah sendiri Emak menempati rumah sebelah rumahku, itu diberikan secara cuma-cuma oleh Ibu karena Emak juga sering membantu Ibu memasak. Ada yang beda dalam pertemuan Emak dan Ibu kali ini. Aku melihat Emak menitikkan airmatanya saat berbicara sesuatu kepada Ibu.

Aku berpindah tempat, mendekat menuju pintu yang dekat mereka mengobrol. Sepintas aku sudah jelas, tetapi apa sebenarnya yang mereka ceritakan itu benar?Yuk Mi hamil?. Cepat aku selesaikan makan aku ikut bergabung dan duduk di sebelah ibu.

”Astaghfirullah” sayup-sayup kudengar Ibu mengucapkan kalimat ightiar itu.

Akhirnya tanpa menunggu selesainya obrolan kedua orang tua yang aku hormati itu, aku mengambil kaos Adidas warna kuning kusam, meluncur ke rumah Tito.

”Ayo ikut”

”Kemana Kris, penting sekali ya?”

”Sudah ayo, ke rumah Agus, Karno biar kita susul kemudian”

Kebetulan Karno sudah berada di rumah Agus, akupun memanggil mereka menuju kamar tamu di rumah Agus yang rindang. Rumah dinas camat. Bapak Agus seorang camat.

Pelan-pelan, dengan harapan tidak terdengar oleh oarang disekitar kami, aku berbisik kepada tiga temanku itu.

”Hai...Yuk Mi hamil!” kataku.

”Apa?” Karno mengernyitkan alisnya yang berbulu lebat tanda tidak percaya.

”Jangan ngaco kamu Kris!” ancam Agus. Sementara Tito di sebelahku hanya membelalakkan matanya, entah percaya atau tidak.

”Sekarang Emak sedang membicarakan Yuk Mi, Yuk Hamil” kataku.

Mereka mulai kebingungan antara benar dan tidak. Bila benar, kami sangat menyayangkan keluarga kecil sederhana itu harus tertimpa musibah seperti ini. Kami sebenarnya sepakat siang ini akan mengunjungi Lik Sutra di sekolah, tetapi akhirnya kami urungkan menunggu esok hari. Entah apa yang ada di benak teman-temanku. Apakah seperti aku yang selintas mulai menuduh Mas Herman telah berbuat mesum dengan Yuk Mi. Mungkinkah? Tiba-tiba Agus merapat di tempat dudukku,mulutnya didekatkannya di telingaku dan berbisik.

”Ini pasti Mas Herman?” suaranya serak. Sama Gus, seperti yang aku kira, batinku.Karno dan Tito menerawang juga.Entah apa yang mereka angan-angan.

”Apa Gus?” tanya Karno curiga.

“Mas Herman?” kata Agus mengisyaratkan pelakunya adalah Mas Herman.

“Hah?” Karno nyengir pahit, pahit sekali.

”Kalau benar, akau duluan yang akan menghajar pemuda sombong itu” bentak Karno.

”Sombong dan pelit, aku mau meninjunya” sahut Tito

”Kamu-kamu ini seberapa? Mas Herman bukan lawan kita” saranku.

”Aku mau bawa roti kalung” kata Karno.

”Sudah, ayo kita buktikan sebenarnya siapa laki-laki keparat itu?” ajakku kepada mereka yang sudah tak tertahan.

Aku kemudian menyusun strategi dengan teman-teman setiaku itu. Yang akhirnya saling memamahami tugasnya masing-masing. Besoknya, sore, sepulang sekolah kami menemui Lik Sutra.

”Lik, entar malam kita cari jangkrik lagi ya” aku menyapa Lik Sutra yang tengah menurukan perlengkapan jualannya. Tak nampak Emak dan Yuk Mi. Mungkin saja masih di belakang.

”Badanku hari ini pegal-pegal Kris, besok saja ya” jawab Lik Sutra.Meski kami kecewa tetapi teman-teman sangat memahami kondisi Lik sutra. Kami pulang ke rumah masing-masing dengan berbagai pikiran. Kami takut menanyakan hal Yuk Mi, khawatir Lik Sutra marah.

***


Malam yang dijanjikan telah tiba. Pencarian jangkrik malam ini beda dengan malam-malam sebelumnya. Karena Karno tidak ikut dalam petualangan malam pekat ini. Tetapi seperti biasa Lik Sutra tetap seperti apa adanya. Bercerita dan kadang membual. Kami tertwa juga dengan bualan-bualan itu. Karena suatu saat cerita-cerita Lik Sutra itu juga aku ceritakan kepada teman yang lain hingga mereka juga tertawa.Setiba di kebun jagung kami mulai sibuk mencari jangkrik. Suara kepalan tangan yang meninju tanah saling bersautan agar jangkrik keluar dari sarangnya.

Jangkrik atau Familia Gryllidae adalah serangga yang berkerabat dengan belalang. Tubuhnya rata, dengan antena panjang.Binatang ini tergolong omnivora dengan suara yang nyaring yang hanya dimiliki jangkrik jantan. Suara mengerik ini sebenarnya untuk mengikat sang betina dan sebagai ancaman buat jantan lainnya yang mengganggu.

Bersamaan dengan petualangan kami di kebun jangung, Karno malam ini mempunyai tugas cukup berat. Karena dia harus menjaga rumah Lik Sutra yang memang sudah kami rencanakan. Lik Sutra tidak tahu strategi kami ini. Tugasnya adalah menjaga dan mengintip kamar Mas Herman yang telah kami curigai berbuat mesum dengan Yuk Mi, sesuai kesepakatan siang kemarin. Sejauh mana pemuda keparat itu tega berbuat nista!

Tigaperempat jam kami telah berada di perkebunan jagung ini, tiba-tiba Lik Sutra mengeluarkan roti sisir yang hanya tinggal tiga.

”Ini buat kamu, Lik Sutra pulang dulu entar Emak marah” kata Lik Sutra menenangkan kami.

Kami kesal lagi. Tetapi aku berharap mudah-mudahan strategi kami siang kemarin dapat membuka tabir yang tengah menimpa keluarga Lik Sutra. Lik Sutra tidak banyak bercerita tentang musibah ini, mungkin karena aib. Kami melihat obor Lik Sutra yang diselipkan di pelepah pisang itu dihembus angin dan ditelan kedinginan malam, lenteranya berangsur padam Sementara aku juga khawatir keberandaan Karno yang saat ini tengah menjadi petugas pengaman rumah Lik Sutra sekaligus mencari bukti kebenaran keterlibatan Mas Herman dalam kasus hamilnya Yuk Mi. Tidak mustahil lagi orang-orang akan menyumpahi pemuda itu. Karena selama bertahun-tahun keluarga Emak, baru kali ini peristiwa zinah ini terjadi. Keparat, Mas Herman! Yuk Sulasmi yang biasa aku kenal Yuk Mi, berpostur tubuh seksi, sepintas wajahnya mirip Yenny Rachman bintang film Indonesia di era 80an. Itukah yang menggoda lelaki lajang laknat itu?

***


Keesokan harinya di sekolah, Karno mengajak kami berkumpul di belakang tembok pembatas sekolah. Kami hanya berempat, Aku,Karno,Tito dan Agus, tak seorangpun mengetahui kami di belakang sekolah ini. Karno memulai ceritanya dengan matanya berkaca-kaca, hidung yang sudah berwarna merah jambu, menandakan dia telah menyimpan dendam kesumat serta kesedihan dan keharuan kepada keluarga sederhana ini. Apalagi melihat nasib Yuk Mi, atau Yuk Sulasmi. Samar-samar kulihat pipi kiri Karno berwarna merah jambu juga, seperti bekas tamparan.Aku tak tega melihatnya.

”Mas Herman!” kata Karno terbata-bata, sambil meninju pohon pisang di depannya berkali-kali .

”Hai, Karno. Kamu ini berkata apa?Tolong tenangkan dulu perasaanmu itu!” kataku.

”Karno, perasaanku sama dengan kamu saat ini, tapi tolong ceritakan yang sebenarnya semalam” pinta Agus.

”Iya, berceritalah dengan sebenarnya Kar” himbau Tito yang bengong di belakang kami.

”Ayo ikut kalian” ajak Karno. Kamipun merangsak ke arah Timur tembok sekolah yang berbatasan dengan kantor Telkom. Karno seperti ketakutan sekali. Karena biasanya Lik Sutra keluar melalui pintu pagar ini melihat-lihat tanaman pisang yang tumbuh di sepanjang sungai kecil ini.

”Aku ditampar Mas Herman” bisik Karno

”Benar, si keparat itu?” tanyaku

”Ayo..tunggu apalagi.Kita harus melapor ini ke Pak Lurah” sambung Agus agresif.

”Tunggu!.Aku melihat semalam, Lik Sutra memasuki kamar pojok tempat tidur Yuk Mi” kata Karno.

”Lalu?” tanya Agus agak gemetar, seperti aku, mungkin juga Tito.

”Aku telah melihat apa yang dilakukan Lik Sutra di kamar Yuk Mi. Tetapi sial Mas Herman terbangun,memergokiku dan mengejar. Tanpa melihat siapa, ditamparnya aku keras-keras” kata Karno.

”Lalu?” desakku.

”Aku meminta Mas Herman untuk mendengar penjelasanku, sambil kubuka penutup sarung di mukaku, kuajak Mas Herman mengintip apa yang tengah terjadi. Ada Lik Sutra di kamar Yuk Mi” cerita Karno.

”Lalu, bagaimana reaksi mas Herman, Kar?” tanya Agus

”Dia berpesan agar aku merahasiakan ini sampai Mas Herman memintanya nanti”

Aku mulai berkaca-kaca.Aku melihat wajah suram Emak saat menceritakan kejadian ini kepada ibu. Apa nantinya yang akan terjadi bila Emak tahu siapa sebenarnya lelaki yang menghamili Yuk Mi? Ternyata Lik Sutra, yang tak ubahnya seperti penjahat saat kami tahu cerita Karno. Diajaknya kami anak-anak desa yang hanya bisa bermalam-malam, kadang duduk dan ngobrol bersama selepas kami mengaji dan belajar di pos kamling depant rumah Lik Sutra hingga larut. Kami tidak tahu hampir setiap kami berkumpul di pos kamling, Lik Sutra selalu mengajak mencari jangkrik. Dibuatkannya kami obor sebagai lentera penerang di kegelapan malam di kebung jagung. Ternyata ada maksud terselubung yang dilakukan Lik Sutra dengan meninggalkan kami malam-malam di kebun jagung pak Fadholi.

Mas Herman pemuda lajang yang kami angap sombong, pelit ternyata salah kami menilainya. Seperti juga diungkapkan Karno bahwa Mas Herman tidur lelap malam itu. Mungkin karena setiap hari lembur di kantornya menjelang Pemilu.

Biarlah Karno dan Mas Herman yang menjelaskan kebusukan Lik Sutra.Untuk menghindari aib keluarga, Emak akhirnya memindahkan anak satu-satunya itu ke saudaranya di desa. Lik Sutra akhirnya mengakui perbuatannya itu dan menikahi pula perempuan itu. Lentera itu tidak bakalan menyala lagi. Taman lazwardi, hamparan karpet hijau dan musik symponi yang biasanya mengantar kami ke kebun jagung kini sepi. Tanpa ada injakan kaki-kaki anak desa yang dimotori oleh seorang penafsu besar dibalik lenteranya!

Sidomukti, sebuah desa di Kraksaan, 25 km arah Probolinggo.
Bila ada persamaan nama karaker tokoh dalam cerita ini itu hanya kebetulan saja.
Cerita ini murni hasil dari sebuah "imajinasi" Nangkris प्रबुलिंग्गा Wetan.
---
Selengkapnya »»  

Selasa, 20 April 2010

Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Product Life Cycle





By: Fanya Jodie
(Vibizmanagement – Sales and Marketing) - Pada umumnya, Product Life Cycle (PLC) terdiri dari 4 tahap, yaitu Introduction, Growth, Maturity, dan Decline. Tahap Introduction biasanya merupakan tahap perkenalan, dimana produk tersebut baru diluncurkan di pasaran. Tahap Growth biasanya merupakan tahap dimana produk tersebut mulai dikenal di pasaran dan mulai mulai dicari oleh kebanyakan orang untuk dimiliki. Tahap Maturity merupakan tahapan dimana produk tersebut merupakan produk yang sudah sangat dikenal di pasaran dan sering dikonsumsi oleh masyarakat. Tahap Decline merupakan tahap dimana produk tersebut telah mengalami penurunan dan mulai ditinggalkan oleh masyarakat.

Namun pada kenyataannya, PLC tidak selalu berakhir dengan tahapan Decline atau penurunan, tetapi untuk produk tertentu, tahapan akhir dari PLC adalah Revitalization dan Plateau. Tahapan Revitalization merupakan tahap pemulihan suatu produk, dimana produk tersebut tidak jadi mengalami penurunan, tetapi justru mengalami kenaikan kembali, sedangkan Tahapan Plateau merupakan tahapan dimana produk tersebut tetap stabil dan tidak mengalami penurunan di dalam penjualannya.

Berikut akan lebih dijelaskan mengenai siklus hidup produk tersebut :

Introduction
Tahap Introduction merupakan tahapan dimana produk tersebut baru diperkenalkan dan diluncurkan ke pasaran. Strategi penjualan yang tepat untuk tahapan ini antara lain jangan menjual produk ini dalam kuantitas yang terlalu banyak, menciptakan kebutuhan (needs) untuk produk yang kita akan pasarkan, memancing keingintahuan konsumen untuk mencoba produk atau jasa yang kita pasarkan, dan usahakan untuk tidak mengeluarkan banyak biaya dalam tahapan ini.

Growth
Tahap Growth merupakan tahapan pertumbuhan dimana produk tersebut telah mengalami pertumbuhan di dalam pemasarannya. Pada tahapan ini, produk yang kita pasarkan merupakan produk yang mulai dicari dan mendapatkan tempat di hati konsumen. Untuk tahapan ini, strategi yang tepat untuk digunakan adalah mulai meningkatkan volume penjualan dan juga meningkatkan public awareness (kesadaran masyarakat) akan produk yang kita pasarkan.

Maturity
Tahap Maturity merupakan tahapan dimana produk yang kita pasarkan sudah mencapai kematangannya. Pada tahapan ini, produk yang kita hasilkan sudah tidak menjadi hal yang asing lagi di telinga konsumen. Namun ada hal yang harus diperhatikan dalam tahapan ini, yaitu kompetitor kita di pasaran menjadi lebih banyak. Jika kita tidak kreatif dalam mencari inovasi produk, maka produk kita akan mulai ditinggalkan oleh konsumen.
Hal yang perlu diperhatikan dalam tahapan ini adalah jangan pernah berhenti untuk tetap mengiklankan produk kita terus-menerus, karena iklan merupakan sarana yang tepat untuk selalu merangsang memory konsumen akan produk yang kita pasarkan. Meskipun produk kita sudah dikenal masyarakat luas, tetapi jika kita tidak pernah mengiklankan terus-menerus, maka kita bisa kalah dengan produk kompetitor atau bahkan produk baru yang gencar meningkatkan promosi produk mereka.

Decline
Pada tahapan ini, biasanya konsumen mulai merasakan kejenuhan atas produk yang dihasilkan. Biasanya hal tersebut bisa terjadi bila kompetitor mulai gencar memasuki pasar dengan inovasi yang lebih kreatif. Selain itu, trend dan kebutuhan akan produk tersebut yang mulai menurun bisa juga menyebabkan produk yang kita pasarkan mengalami penurunan atau kejenuhan. Biasanya, cara menangani kejenuhan masyarakat adalah dengan menjual produk dengan harga yang lebih murah atau mengingatkan masyarakat kembali akan produk tersebut melalui periklanan. Dalam memanfaatkan periklanan, kita juga harus mempromosikan produk kita dengan lebih menarik, misalnya dengan memanfaatkan selebritis, atau dengan membuat iklan tersebut menarik sedemikian rupa sehingga konsumen yang mulai meninggalkan produk kita, mulai berpikir ulang untuk kembali menggunakan produk kita.

Revitalization
Tahap ini juga merupakan tahapan akhir selain Decline dan Plateau. Pada tahapan ini, produk yang kita pasarkan tidak mengalami penurunan atau kejenuhan setelah melewati tahap maturity, tetapi justru berbalik arah dan mengalami kenaikan dalam pemasarannya. Strategi agar produk kita tidak mengalami penurunan adalah dengan cara meningkatkan inovasi produk yang sudah ada. Misalnya, apabila produk yang kita pasarkan adalah suatu mainan, kita tidak perlu membuat merk atau benar-benar mengubah desain dari mainan tersebut untuk menghindari tahapan penurunan, tetapi kita bisa menambah fungsi guna dari mainan tersebut dan menambah fitur-fitur baru yang lebih menarik pada mainan tersebut sehingga orang tidak merasa jenuh terhadap produk yang kita hasilkan.

Plateau
Pada tahapan ini, produk tidak mengalami kenaikan maupun penurunan, tetapi siklus hidupnya tetap stabil. Produk yang biasanya mengalami tahapan ini adalah produk seperti obat-obatan atau produk market nicher yang biasanya dibutuhkan konsumen secara terus-menerus. Produk seperti obat-obatan memang akan terus dibutuhkan oleh masyarakat, karena memang sudah sepantasnya jika orang merasa kurang sehat, ia akan membeli obat agar kesehatannya membaik. Produk market nicher juga merupakan produk yang terus-menerus dicari orang, karena produk tersebut memiliki keunggulan yang biasanya memiliki nilai tersendiri bagi masyarakat.


Fanya Jodie

Editor Vibiznews.com
Selengkapnya »»  

Minggu, 11 April 2010

Megawati Soekarnoputri




















Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kehidupan awal

Megawati adalah anak kedua Presiden Soekarno yang telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ibunya Fatmawati kelahiran Bengkulu di mana Sukarno dahulu diasingkan pada masa penjajahan belanda. Megawati dibesarkan dalam suasana kemewahan di Istana Merdeka.

Dia pernah menuntut ilmu di Universitas Padjadjaran di Bandung (tidak sampai lulus) dalam bidang pertanian, selain juga pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (tetapi tidak sampai lulus).

Karir politik Mega yang penuh liku seakan sejalan dengan garis kehidupan rumah tangganya yang pernah mengalami kegagalan. Suami pertamanya, seorang pilot AURI, tewas dalam kecelakaan pesawat di laut sekitar Biak, Irian Jaya. Waktu itu usia Mega masih awal dua puluhan dengan dua anak yang masih kecil. Namun, ia menjalin kasih kembali dengan seorang pria asal Mesir, tetapi pernikahannya tak berlangsung lama. Kebahagiaan dan kedamaian hidup rumah tangganya baru dirasakan setelah ia menikah dengan Moh. Taufiq Kiemas, rekannya sesama aktivis di GMNI dulu, yang juga menjadi salah seorang penggerak PDIP.

Karir Politik
Jejak politik sang ayah berpengaruh kuat pada Megawati. Karena sejak mahasiswa, saat kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran, ia pun aktif di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia).

1986
Pergantian tampuk pimpinan
pemerintahan Indonesia.

Tahun 1986 ia mulai masuk ke dunia politik, sebagai wakil ketua PDI Cabang Jakarta Pusat. Karir politiknya terbilang melesat. Mega hanya butuh waktu satu tahun menjadi anggota DPR RI.

1993
Dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993, Megawati terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI.

1996
Namun, pemerintah tidak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketua Umum PDI. Mega pun didongkel dalam Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, yang memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI.
Mega tidak menerima pendongkelan dirinya dan tidak mengakui Kongres Medan. Ia masih merasa sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor dan perlengkapannya pun dikuasai oleh pihak Mega. Pihak Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor DPP PDI. Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI yang terletak di Jalan Diponegoro.
Ancaman Soerjadi kemudian menjadi kenyataan. Tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Aksi penyerangan yang menyebabkan puluhan pendukung Mega meninggal itu, berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta yang dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli. Kerusuhan itu pula yang membuat beberapa aktivis mendekam di penjara.
Peristiwa penyerangan kantor DPP PDI tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, ia makin mantap mengibarkan perlawanan. Ia memilih jalur hukum, walaupun kemudian kandas di pengadilan. Mega tetap tidak berhenti. Tak pelak, PDI pun terbalah dua: PDI di bawah Soerjadi dan PDI pimpinan Mega. Pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Namun, massa PDI lebih berpihak pada Mega.

1997
Keberpihakan massa PDI kepada Mega makin terlihat pada pemilu 1997. Perolehan suara PDI di bawah Soerjadi merosot tajam. Sebagian massa Mega berpihak ke Partai Persatuan Pembangunan, yang kemudian melahirkan istilah "Mega Bintang". Mega sendiri memilih golput saat itu.

1999
Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri (1999-2001)
Pemilu 1999, PDI Mega yang berubah nama menjadi PDI Perjuangan berhasil memenangkan pemilu. Meski bukan menang telak, tetapi ia berhasil meraih lebih dari tiga puluh persen suara. Massa pendukungnya, memaksa supaya Mega menjadi presiden. Mereka mengancam, kalau Mega tidak jadi presiden akan terjadi revolusi.
Namun alur yang berkembang dalam Sidang Umum 1999 mengatakan lain: memilih KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Ia kalah tipis dalam voting pemilihan Presiden: 373 banding 313 suara.

2001
Namun, waktu juga yang berpihak kepada Megawati Sukarnoputri. Ia tidak harus menunggu lima tahun untuk menggantikan posisi Presiden Abdurrahman Wahid, setelah Sidang Umum 1999 menggagalkannya menjadi Presiden. Sidang Istimewa MPR, Senin (23/7/2001), telah menaikkan statusnya menjadi Presiden, setelah Presiden Abdurrahman Wahid dicabut mandatnya oleh MPR RI.

2004
Masa pemerintahan Megawati ditandai dengan semakin menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, dalam masa pemerintahannyalah, pemilihan umum presiden secara langsung dilaksanakan dan secara umum dianggap merupakan salah satu keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia. Ia mengalami kekalahan (40% - 60%) dalam pemilihan umum presiden 2004 tersebut dan harus menyerahkan tonggak kepresidenan kepada Susilo Bambang Yudhoyono mantan Menteri Koordinator pada masa pemerintahannya.
[sunting]

Perjalanan karir
Anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (Bandung), (1965)
Anggota DPR-RI, (1993)
Anggota Fraksi DPI Komisi IV
Ketua DPC PDI Jakarta Pusat, Anggota FPDI DPR-RI, (1987-1997)
Ketua Umum PDI versi
Munas Kemang (1993-sekarang) PDI yang dipimpinnya berganti nama menjadi PDI Perjuangan pada 1999-sekarang
Wakil Presiden Republik Indonesia, (Oktober 1999-23 Juli 2001)
Presiden Republik Indonesia ke-5, (23 Juli 2001-2004)
[sunting]
Perjalanan pendidikan
SD Perguruan Cikini Jakarta, (1954-1959)
SLTP Perguruan Cikini Jakarta, (1960-1962)
SLTA Perguruan Cikini Jakarta, (1963-1965)
Fakultas Pertanian UNPAD Bandung (1965-1967), (tidak selesai)
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972), (tidak selesai)
Selengkapnya »»  

Sabtu, 10 April 2010

Musnahnya Sebuah Hakekat



Masuk ke salah satu ruangan rumah Bhanu yang berada di pinggir jalan raya terlihat seperangkat gamelan jawa. Tertata rapi meskis sudah jarang digunakan. Lantai rumah masih menggunakan bin teraso. Sepertinya rumah Belanda sebelumnya. Tembok setiap ruangan pilar-pilarnya besar dan beratap tinggi. Bila masuk ke beranda rumah ini terasa sejuk, karena jarak rumah dengan jalan raya dibatasi dengan berbagai tumbuhan produktiv seperti buah mangga, jambu air dan lain-lain.

Bhanu hidup hanya dengan seorang adiknya Wisnu, serta keduaorangtuanya yang berasal dari Jawa Tengah. Ibunya sopan sekali dengan kromo inggil yang halus, kadang tak tahu apa arti yang diucapkannya. Demikian pula bapaknya yang seorang guru dan pelatih gamelan. Sepintas dapat diyakini keluarga ini masih punnya titah bangsawan dan ningrat Jawa Tengah yang masih memegang teguh adat istiadat Jawa.

Semua aturan hirarki antara anak dan orang tuan, mas dan adhi masih saja terpelihara dengan rapi dalam suasana rumah ini. Karena kalau tidak ibu pasti akan menegur dengan halus dan itu harus dituruti. Kadang juga bisa marah meskipun dengan kata yang halus tetapi bermakna dalam bagi kedua puteranya itu. Bahkan pernah Wisnu sepulang sekolah membuka sepatu kemudian menaruhnya dengan asal-asalan tidak tertata ditempat yang telah disediakan, ibu marah besar kepada Ipah pembatunya karena menolong merapikan sepatu Wisnu yang tidak tertata rapi.

Ke sekolah sengaja tidak diberi uang jajan dengan alasan takut membeli jajan sekolah yang tidak bersih dan tidak hygienis. Air minum dan kue sanck disediakan dari rumah. Ibu trauma dengan kejadian yang dialami Bhanu. Sepulang sekolah muntah-muntah karena diajak minum es tape dipinggir jalan oleh teman-teman SMA nya dulu. Baru ketahuan dan matur ibu saat diinfus di rumah sakit milik perkebunan.

Meningjak dewasa saat ini ibu semakin cerewet. Dengan status sosial yang diemban Bhanu sebagai karyawan sebuah bank negara, setiap kali selalu terngiang nama Anggraeni. Gadis yang juga masih “berbau” keraton puteri bapak Sudrajad yang tidak lain adalah teman semasa muda keluarga ini.

“Ini dapat kiriman sulaman buat almari hias, dari Bu Drajad`` kata ibu ketika Bhanu baru pulang kerja.

“Susah loh le (le: sebutan untuk anak lelaki) buat seperti ini neh ora tlaten” sambung ibu. Bhanu diam saja meski tahu ibu ingin respon tentang oleh-oleh yang Bhanu yakin itu pasti dibuat oleh Anggraeni, sambil terus mengunyah sambal goreng kesuakaannya.

“Kamu kapan ke Jogja le ?`` rayu ibu pada Bhanu
“Bune, Bhanu masih belum bisa dalam bulan ini” sahut Bhanu terkesan malas.
“Njur kapan?”
“Nantilah Bune, pasti Bhanu ke Jogja”
“Mampir yo ke rumah Bu Drajad. Ora enak dikasih oleh-oleh ora mbalesi”
“Di paket saja Bune” sanggah Bhanu dengan nekad.
“Loh kowe opo ora kangen Eny (Anggraeni) toh”
Inilah sebetulanya yang ingin ibu sampaikan pada Bhanu dari seluruh isi percakapan itu. Bhanu sudah tahu trik-trik ibu masalah usahanya untuk mendekatkan gadis Jogya itu dengannya.
“Injih Bu” itu saja jawaban Bhanu

***


Setiap gerak langkah pria gagah dan tampan ini kelihatan kaku. Irama kediktatoran ibundanya melekat erat dalam setiap geraknya. Sementara perjalanan panjang yang tidak pernah diceritakannya pada ibu tentang hubungan asmaranya dengan Sukarsih puteri Kepala Kantor Pos, ada halangan bagai tembok raksasa di China untuk menceritakan. Bagaiaman ibu tahu nanti apabila pria putih bersih ini telah menjalin hubungan dan telah mencampakkan Anggraeni pilahan Bune?

Hingga pada suatu saat kebetulan ketika bulan purnama tengah malam sengaja Bhanu mengajak ibunya duduk di teras rumah tua yang kokoh, keinginannya terpaksa tertumpah atas kejujuran hatinya untuk mencintai Sukarsih.

“Bune pangapunten (maaf). Kejujuran cinta dalam hati Bhanu berbicara lain”
“Makasudmu opo to Le?”
“Sebagai lelaki Bhanu punya dasar cinta yang hakiki pada seorang gadis”
“Ngomongmu koq malah aneh to Le.Kemudian maksudmu itu apa?” diucapkan ibu dengan lembut tetapi dalam.
“Bune, ijinkan Bhanu mencintai wanita yang bukan Angraeni” Bhanu agak berkeringat nerves.
“Njur piye? Bagaimana ibu harus mengatakan ini kepadamu sebagai anak yang telah ibu besarkan?” perkataan ibu kali ini tidak sehalus biasanya.

Suasana hening sejenak. Bhanu mulai kacau. Dia mempunyai hakiki cinta yang mendasar, sementara yang dihadapinya saat ini adalah orang yang telah membesarkannya bersama Wisnu adhinya. Teringat Bhanu saat keluarga besar Sudradjat mengunjunginya beberapa waktu lalu. Anggraeni gadis putih, berambut ikal khas keraton, dengan alis wulan naggal sepisan (bagai bulan jawa tanggal satu untuk alis yang indah). Keluarga ini telah membentuk sebuah keputusan untuk menjodohkan Bhanu dengan Anggraeni kelak.

“Mohon ampun Bune, tolong Bhanu Bune.Ijinkan Bhanu mencintai Sukarsih“
“Bhanu, tidakkah kamu merasa kasihan pada Bapak, bagaimana pertalian ini sudah dijalin.Iki ora biso ditawar Le“

Tidak tahan dan agar tidak larut dalam emosi, perlahan Bhanu pamit pada ibu dan masuk dalam kamar. Pikirannya melayang. Terbayang Sukarsih yang terakhir ditemuinya di toko buku Gramedia. Gadis sederhana yang telah mengguncakan hati. Dia telah mengerti makna kebersamaan yang telah hampir satu tahun dilaluinya bersama Bhanu. Begitu dewasanya Sukarsih menghadapi rintangan keluarga lelaki yang dikenalnya ini. Bagi Sukarsih, rumah Bhanu yang asri itu tak ubahnya seperti neraka. Pastilah kekecewaan yang akan didapatinya bila harus menemui ibu di dalam sana. Tak akan ada artinya. Bahkan Sukarsih sangat menyayangkan sikap keluarga itu meski sangat memaklumi adat istiadat jawa « kuno » itu.

Hal yang sangat disayangkan ketika suatu saat Bhanu mengatakan bahwa jiwanya telah kehilangan hakiki sebagai lelaki. Jiwanya telah terampas oleh ikatan adat yang masih dipelihara. Bahkan pada akhirnya Bhanu harus kehilangan Sukarsih, harus kehilangan segala-galanya. Bibirnya kini keluh setiap bertemu gadis. Biarlah semua disimpannya dalam kekeluan di dadanya. Bahkan kejantanan yang seharusnya dia miliki kini nampak pudar bagai lampu lentera yang terombang ambing angin. Hari-harinya hanya menghitung hari tanpa sedikitpun mengurus seperti apa kehidupan di depan sana ? (Fiksi :Nanang Kristyo)
Selengkapnya »»  
Terimakasih Atas Kunjungannya. Semoga Bermanfaat