Nangkris blog dengan tampilan baru yang lebih dinamis, untuk melihatnya silahkan sebuah refleksi...
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Diilhami dari sebuah lagu dari Ebit G. Ade "Tentang Seorang Sahabat"
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Diilhami dari sebuah lagu dari Ebit G. Ade "Tentang Seorang Sahabat"
Masuk ke salah satu ruangan rumah Bhanu yang berada di pinggir jalan
raya terlihat seperangkat gamelan jawa. Tertata rapi meskis sudah jarang
digunakan. Lantai rumah masih menggunakan bin teraso. Sepertinya rumah
Belanda sebelumnya. Tembok setiap ruangan pilar-pilarnya besar dan
beratap tinggi. Bila masuk ke beranda rumah ini terasa sejuk, karena
jarak rumah dengan jalan raya dibatasi dengan berbagai tumbuhan
produktiv seperti buah mangga, jambu air dan lain-lain.
Bhanu
hidup hanya dengan seorang adiknya Wisnu, serta keduaorangtuanya yang
berasal dari Jawa Tengah. Ibunya sopan sekali dengan kromo inggil yang
halus, kadang tak tahu apa arti yang diucapkannya. Demikian pula
bapaknya yang seorang guru dan pelatih gamelan. Sepintas dapat diyakini
keluarga ini masih punnya titah bangsawan dan ningrat Jawa Tengah yang
masih memegang teguh adat istiadat Jawa.
Semua aturan hirarki
antara anak dan orang tuan, mas dan adhi masih saja terpelihara dengan
rapi dalam suasana rumah ini. Karena kalau tidak ibu pasti akan menegur
dengan halus dan itu harus dituruti. Kadang juga bisa marah meskipun
dengan kata yang halus tetapi bermakna dalam bagi kedua puteranya itu.
Bahkan pernah Wisnu sepulang sekolah membuka sepatu kemudian menaruhnya
dengan asal-asalan tidak tertata ditempat yang telah disediakan, ibu
marah besar kepada Ipah pembatunya karena menolong merapikan sepatu
Wisnu yang tidak tertata rapi.
Ke sekolah sengaja tidak diberi
uang jajan dengan alasan takut membeli jajan sekolah yang tidak bersih
dan tidak hygienis. Air minum dan kue sanck disediakan dari rumah. Ibu
trauma dengan kejadian yang dialami Bhanu. Sepulang sekolah
muntah-muntah karena diajak minum es tape dipinggir jalan oleh
teman-teman SMA nya dulu. Baru ketahuan dan matur ibu saat diinfus di
rumah sakit milik perkebunan.
Meningjak dewasa saat ini ibu
semakin cerewet. Dengan status sosial yang diemban Bhanu sebagai
karyawan sebuah bank negara, setiap kali selalu terngiang nama
Anggraeni. Gadis yang juga masih “berbau” keraton puteri bapak Sudrajad
yang tidak lain adalah teman semasa muda keluarga ini.
“Ini dapat kiriman sulaman buat almari hias, dari Bu Drajad`` kata ibu ketika Bhanu baru pulang kerja.
“Susah
loh le (le: sebutan untuk anak lelaki) buat seperti ini neh ora tlaten”
sambung ibu. Bhanu diam saja meski tahu ibu ingin respon tentang
oleh-oleh yang Bhanu yakin itu pasti dibuat oleh Anggraeni, sambil terus
mengunyah sambal goreng kesuakaannya.
“Kamu kapan ke Jogja le ?`` rayu ibu pada Bhanu
“Bune, Bhanu masih belum bisa dalam bulan ini” sahut Bhanu terkesan malas.
“Njur kapan?”
“Nantilah Bune, pasti Bhanu ke Jogja”
“Mampir yo ke rumah Bu Drajad. Ora enak dikasih oleh-oleh ora mbalesi”
“Di paket saja Bune” sanggah Bhanu dengan nekad.
“Loh kowe opo ora kangen Eny (Anggraeni) toh”
Inilah
sebetulanya yang ingin ibu sampaikan pada Bhanu dari seluruh isi
percakapan itu. Bhanu sudah tahu trik-trik ibu masalah usahanya untuk
mendekatkan gadis Jogya itu dengannya.
“Injih Bu” itu saja jawaban Bhanu
***
Setiap
gerak langkah pria gagah dan tampan ini kelihatan kaku. Irama
kediktatoran ibundanya melekat erat dalam setiap geraknya. Sementara
perjalanan panjang yang tidak pernah diceritakannya pada ibu tentang
hubungan asmaranya dengan Sukarsih puteri Kepala Kantor Pos, ada
halangan bagai tembok raksasa di China untuk menceritakan. Bagaiaman ibu
tahu nanti apabila pria putih bersih ini telah menjalin hubungan dan
telah mencampakkan Anggraeni pilahan Bune?
Hingga pada suatu saat
kebetulan ketika bulan purnama tengah malam sengaja Bhanu mengajak
ibunya duduk di teras rumah tua yang kokoh, keinginannya terpaksa
tertumpah atas kejujuran hatinya untuk mencintai Sukarsih.
“Bune pangapunten (maaf). Kejujuran cinta dalam hati Bhanu berbicara lain”
“Makasudmu opo to Le?”
“Sebagai lelaki Bhanu punya dasar cinta yang hakiki pada seorang gadis”
“Ngomongmu koq malah aneh to Le.Kemudian maksudmu itu apa?” diucapkan ibu dengan lembut tetapi dalam.
“Bune, ijinkan Bhanu mencintai wanita yang bukan Angraeni” Bhanu agak berkeringat nerves.
“Njur
piye? Bagaimana ibu harus mengatakan ini kepadamu sebagai anak yang
telah ibu besarkan?” perkataan ibu kali ini tidak sehalus biasanya.
Suasana
hening sejenak. Bhanu mulai kacau. Dia mempunyai hakiki cinta yang
mendasar, sementara yang dihadapinya saat ini adalah orang yang telah
membesarkannya bersama Wisnu adhinya. Teringat Bhanu saat keluarga besar
Sudradjat mengunjunginya beberapa waktu lalu. Anggraeni gadis putih,
berambut ikal khas keraton, dengan alis wulan naggal sepisan (bagai
bulan jawa tanggal satu untuk alis yang indah). Keluarga ini telah
membentuk sebuah keputusan untuk menjodohkan Bhanu dengan Anggraeni
kelak.
“Mohon ampun Bune, tolong Bhanu Bune.Ijinkan Bhanu mencintai Sukarsih“
“Bhanu, tidakkah kamu merasa kasihan pada Bapak, bagaimana pertalian ini sudah dijalin.Iki ora biso ditawar Le“
Tidak
tahan dan agar tidak larut dalam emosi, perlahan Bhanu pamit pada ibu
dan masuk dalam kamar. Pikirannya melayang. Terbayang Sukarsih yang
terakhir ditemuinya di toko buku Gramedia. Gadis sederhana yang telah
mengguncakan hati. Dia telah mengerti makna kebersamaan yang telah
hampir satu tahun dilaluinya bersama Bhanu. Begitu dewasanya Sukarsih
menghadapi rintangan keluarga lelaki yang dikenalnya ini. Bagi Sukarsih,
rumah Bhanu yang asri itu tak ubahnya seperti neraka. Pastilah
kekecewaan yang akan didapatinya bila harus menemui ibu di dalam sana.
Tak akan ada artinya. Bahkan Sukarsih sangat menyayangkan sikap keluarga
itu meski sangat memaklumi adat istiadat jawa « kuno » itu.
Hal
yang sangat disayangkan ketika suatu saat Bhanu mengatakan bahwa jiwanya
telah kehilangan hakiki sebagai lelaki. Jiwanya telah terampas oleh
ikatan adat yang masih dipelihara. Bahkan pada akhirnya Bhanu harus
kehilangan Sukarsih, harus kehilangan segala-galanya. Bibirnya kini
keluh setiap bertemu gadis. Biarlah semua disimpannya dalam kekeluan di
dadanya. Bahkan kejantanan yang seharusnya dia miliki kini nampak pudar
bagai lampu lentera yang terombang ambing angin. Hari-harinya hanya
menghitung hari tanpa sedikitpun mengurus seperti apa kehidupan di depan
sana ? (Fiksi :Nanang Kristyo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar