NKN NEWS STICKER

Akibat imbas debu vulkanik gunung Kelud, di Mojokerto kini langka masker. Bahkan dibeberapa apotik dan swalayan juga habis

Minggu, 29 Mei 2011

Kematian Ilmu-ilmu Sosial di Indonesia???


Rabu 24 Februari 2010 Sekolah Pascasarjana UGM mengadakan “Seminar the Great Thinkers”, sebuah diskusi bulanan yang membahas tentang pemikiran-pemikiran ilmuwan yang memberikan pengaruh luar biasa dalam tradisi intelektual. Seminar kali ini membahas “Selo Soemardjan dan Kematian Ilmu Sosial di Indonesia” , bertempat di Ruang Seminar Gedung Sekolah Pascasarjana Lt 5, Jl. Teknika Utara Pogung, Universitas Gadjah Mada. Adapun pembicara yang dihadirkan adalah dua orang sosiolog kondang: Prof. Dr. Heru Nugroho dan Prof. Dr. Sunyoto Usman.
Dalam makalahnya, Prof. Sunyoto Usman mengatakan buku yang terkenal dari Selo Soemardjan adalah “Perubahan Sosial di Yogyakarta”. Buku ini mengkaji dan menjelaskan perubahan sosial masyarakat Jawa di Yogyakarta. Faktor penting dalam perubahan masyarakat Jawa adalah ideologi politik,
“Ideologi politik dalam perspektif sosiologi bisa dilihat dari 2 hal. Pertama, status dan peran masyarakat sipil dalam hubungannya dengan negara, dari dalam posisi sub-ordinasi (didominasi, diabaikan) dalam proses perumusan dan eksekusi keputusan yang menyangkut kepentingan publik, menjadi lebih melembagakan kompetisi sehat, transparansi dan partisipasi. Kedua, status dan peran lembaga-lembaga pemerintahan, dari yang sangat sentralistik dan otokratis menjadi pemerintahan yang didesentralistik dan demokratis. Ideologi politik semacam ini bukan sekedar sebuah mekanisme bagaimana meraih, mengembangkan dan mempertahankan  kekuasaan, tetapi lebih daripada itu adalah niat luhur yang menghargai harkat dan martabat manusia.” (Sunyoto Usman dalam Makalah “Selo Soemardjan, Perubahan Sosial, dan Masyarakat Jejaring”)
Tidak seperti revolusi sosial di Perancis yang digerakkan oleh kaum intelektual bersama rakyat yang tertindas untuk menggulingkan kekuasaan raja yang absolut, perubahan sosial di Yogyakarta malah digerakkan oleh pucuk pimpinan dan pemilik kekuasaan itu sendiri yakni Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sehingga para bangsawan dan rakyat secara keseluruhan melihat perubahan yang digulirkan oleh sang Raja sebagai keharusan yang mesti dijalani untuk perbaikan ke depan.  Maka perubahan yang terjadi disertai tanpa gejolak yang berarti, meskipun membongkar sebagian sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Perubahan sosial yang mengedepankan nilai-nilai harmoni telah berhasil membawa perubahan tanpa berdarah-darah. Namun, saat ini perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat kita cendrung mengabaikan nilai-nilai harmonisasi ini. Produk politik yang memberlakukan pemilihan kepala daerah, presiden dan wakil presiden melalui pemilihan langsung telah membelah masyarakat pada kandidat-kandidat yang bertarung. Segmentasi yang terjadi terus meruncing dalam kampanye-kampanye negatif, saling menjatuhkan. Maka upaya perangkulan (koalisi) setelah pemilihan menjadi sia-sia, karena pendukung masing-masing kandidat sudah membawa alam bawah sadar kebencian satu sama lain.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX memposisi diri sebagai pelopor sekaligus fasilitator. Ia tidak memaksakan ide-idenya diterima sepenuhnya oleh masyarakat. Sultan memberikan jalan dan dukungan teknis, dan menyerahkan sepenuhnya gerak perubahan itu kepada rakyat.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah raja yang membuka sekat-sekat ketat kraton yang begitu sakral. Dengan berani Sultan menjadikan kraton sebagai ruang publik yang bisa diakses siapapun untuk kepentingan bersama. Sejarah UGM menggambarkan keterbukaan itu. Bagaimana di awal-awal pendirianya, UGM memakai beberapa ruang di kraton untuk kegiatan kuliah. Kita tidak melihat keterbukaan seperti ini pada kesultanan-kesultanan lain yang ada di Indonesia.

Perubahan sosial membutuhkan teori baru dan metodologi baru seiring perkembangan masyarakat.  Di sisi lain, teori baru dan metodologi baru lahir dari penelitian serius terhadap fenomena yang terjadi pada masyarakat. Pemikiran Selo Soemardjan secara cerdas dan komprehensif berhasil memotret perubahan sosial di Yogyakarta. Namun, cukup berat untuk membawa analisis yang beliau pakai untuk konteks sekarang. Oleh karena itu, diperlukan ilmuan-ilmuan sosial baru yang mampu memotret kondisi masyarakat saat ini.

Kebutuhan terhadap lahirnya ilmuan-ilmuan baru yang mampu menawarkan teori baru dalam menelisik fenomena sosial, menurut Prof. Sunyoto mengalami kemandegan. Hal ini disebabkan perguruan tinggi sebagai agent pencetak intelektual mengalami krisis. Ada 3 krisis yang dialami oleh perguruan tinggi: Pertama, mahasiswa pascasarjana yag diharapkan mampu memberikan kritik pada teori dan menghasilkan teori baru, masih berkutat pada identifikasi teori dan mengekor pada teori-teori yang sudah ada. Kedua, dosen tidak dijadikan sebagai “patner diskusi”, tapi sebagai sumber dari segala sumber. Ketiga, banyak professor yang  dipaksa/memaksakan diri membimbing mahasiswa meneliti bidang yang tidak dikuasainya.

Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan DIKTI sebagai regulator pendidikan tinggi di Indonesia dengan membuat aturan pendidikan linear S1, S2, S3 bagi dosen. Sekilas, aturan ini memang mengarah pada spesialisasi keilmuan. Namun, kalau ditelisik lebih jauh kata Prof. Sunyoto, kebijakan ini menjadi penghambat berkembangnya ilmu pengetahuan karena memahami fenomena dan masalah secara monolog.
************************************
Prof. Heru Nugroho tampil sebagai pembicara kedua setelah Prof. Sunyoto meninggalkan ruangan karena harus terbang ke Bali. Menurut Doktor lulusan Jerman ini, sebagai ilmuan, Selo Soemardjan kurang meninggalkan jejak. Namun beliau berhasil meletakkan kemajuan sosiologi secara kelembagaan melalui pencapaiannya membesarkan jurusan sosiologi di Universitas Indonesia.

Berangkat kepada pembahasan kematian ilmu-ilmu sosial, Prof. Heru menyebutkan ada tiga agent penyebab kematian ilmu-ilmu sosial: negara, perspektif, dan perilaku ilmuan itu sendiri. Untuk konteks saat ini di Indonesia, negara berperan lebih positif dibandingkan masa orde baru. Berbagai kebijakan pro pendidikan telah digelontorkan oleh pemerintah. Di antaranya adalah pemberian tunjangan tiga kali lipat gaji pokok kepada professor dan pemberian tunjangan dua kali lipat kepada dosen bersertifikasi. Memang kebijakan ini terkesan terlambat dan belum sepenuhnya memadai. Namun, sudah ada apresiasi dan langkah baik yang dilakukan pemerintah untuk mengairahkan pelaku pendidikan.

Prof. Heru melihat lambatnya perkembangan ilmu khususnya ilmu-ilmu sosial di Indonesia lebih dikarenakan persoalan ilmuan itu sendiri. Universitas sebagai motor utama, telah bergeser fungsinya menjadi arena pertarungan kekuasaan. Hal ini sangat kentara terlihat pada fenomena kekritisan akademisi hanya ketika berada di luar kekuasaan, tapi kalau sudah dipinang berubah arah menjadi pembela utama kebijakan penguasa.

Universitas yang seharusnya menjadi magistrium ex scholarium, tempat berdebatnya para ilmuan demi menghasilkan pemikiran demi perubahan ke arah kebaikan, telah berubah fungsi menjadi batu loncatan untuk menjadi bagian dari kekuasaan. Sehingga tradisi intelektual-pun hancur oleh orientasi pembelaan-pembelaan demi melanggengkan posisi dan kedudukan.

Fenomena intelektual hazart ini tampaknya sudah menggeliat di UGM. Prof. Heru menunjukkan secara sederhana, “Cubalah sesekali melakukan penelitian di bandara Adisucjipto pada hari senin. Maka anda akan melihat sejibun professor - doktor UGM sedang check in menunggu keberangkatan ke Jakarta. Dalam rangka apa? Pelaksanaan posisi mereka sebagai staff ahli pejabat pemerintah.” Tergiur oleh posisi penting di pemerintahan telah membuat mereka meninggalkan kewajiban sebagai pengajar di kampus.

Jika lingkungan kampus yang terbangun adalah pengejaran untuk dekat dengan kekuasaan, maka tradisi intelektual tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah agar situasi ini tidak terlanjur parah yang ujung-ujungnya akan membuat keilmuan mati perlahan seiring disorientasi para ilmuan. Menurut Prof. Heru ada tiga solusi: Pertama, pembangunan dan penguatan kelembagaan baik itu berupa kesejahteraan staff pengajar, pemberian fasilitas yang memadai sehingga dosen betah di kampus, dan pembuatan regulasi yang ketat sehingga fasilitas yang diberikan berbanding lurus dengan kerja-kerja yang dilakukan. Kedua, memperkuat moralitas dan komitmen. Ketiga, sikap asketis yaitu sikap untuk bersemangat menahan godaan kekuasaan dan semangat untuk terus tekun melakukan penelitian-penelitian demi penemuan teori-teori baru.

Prof. Heru menemukan sikap asketis ini pada dosen-dosennya sewaktu belajar di Jerman. Dosen di sana suntuk dengan hal-hal akademis bukan hal-hal yang berbau teknis, apalagi menghabiskan waktu untuk hal-hal pragmatis seperti pengejaran posisi dalam kekuasaan. Emile Durkheim mengatakan dalam masyarakat ada pembagian kerja. Oleh karena itu menurut Prof. Heru, jika memang sudah memilih untuk menjadi dosen, maka fokuslah dengan pekerjaan-pekerjaan dosen. Jadi intelektual organik sebagai mana yang disampaikan oleh Gramci. Menjadi penghubung antara abstraksi teori dengan realitas praktis agar tak menjadi menara gading. Mengkritik penguasa demi perubahan ke arah kebaikan, bukan mengkritik untuk mencari perhatian demi mencari kedudukan.

Source:http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/01/kematian-ilmu-ilmu-sosial-di-indonesia/
Selengkapnya »»  

Kamis, 26 Mei 2011

"Tipuan" Kepala Sekolah Yang Membawa Sukses

Dalam sebuah kelas seorang Kepala Sekolah menyampaikan kepada para siswa siswi tahun pelajaran baru, bahwa kelas ini adalah merupakan siswa siswa pilihan dari berbagai sekolah SMP dari berbagai daerah. Sehingga kelas ini nantinya diharapkan dapat berhasil dengan nilai rata-rata lebih tinggi dari kelas lainnya. Mereka nanti akan dibimbing oleh 3 guru yang juga merupakan pilihan, kata Kasek kepada siswa "pilihan" tsb.

Maka setelah kenaikan kelas , kelas ini mendapatkan nilai yang luar biasa. Mereka saling berpacu untuk mendapatkan nilai tertinggi, karenya mereka dapat berhasil mendapatkan nilai terbaik rata-rata dari kelas lainnya.

Pada suatu ketika 3 guru ini menanyakan kpd  Kaseknya mengapa kelas ini menjadi kelas paling top dari kelas lainnya? Maka Kasek itu membuka rahasia yang selama satu ajaran itu dipendamnya saat kepala sekolah memanggil 3 guru dalam kelas ini.."Sebenarnya kalian  adalah siswa-siswa yang saya pilih  secara acak seperti kelas laiinya, namun saya sampaikan kepada Anda bahwa kelas ini adalah siswa unggul dari berbagai sekolah" kata Kasek yang berobservasi itu.
"Status" pujian ternyata membawa dampak dahsyat kepada setiap individu. Sekalipun hasil yang dicapai setiap individu nanti belum jelasMaka dalam kaitan cerita ini juga disampaikan bahwa dalam sebuah organisasi bila seorang pimpinan selalu menekankan target (meskipun ini hal yang lumrah) namun bila dilakukan terus menerus malah akan merusak komitment yang telah dibangun bersama.(Nangkris)

Disarikan dari sebuah cerita Radio Siaran Swasta Nasional, dari seorang nara sumber.
Selengkapnya »»  

Kamis, 19 Mei 2011

Bagaimana Pengembangan Karir di Perusahaan Multi Usaha?

Pertanyaan

Bagaimana Pengembangan Karir di Perusahaan Multi Usaha?
Bagaimana menyusun Sistem Pengembangan Karir di perusahaan yang memiliki banyak ragam kegiatan usahanya?
Wawan Gunawan , Graha Sucofindo Lt. 9 Divisi PSDM,

Jawaban

Berikut ini adalah gambaran singkat bagaimana membangun sistem pengembangan karir di dalam organisasi:
1. Tentukan dulu filosofi perusahaan mengenai bagaimana seorang karyawan dapat mengembangkan karirnya di perusahaan, misalnya:

a. Apakah dasar atau kriteria bagi karyawan untuk naik jabatan (pergerakan vertikal) maupun pindah bagian (pergerakan horisontal) di dalam perusahaan? Kriteria ini bisa beragam, misalnya prestasi kerja karyawan selama beberapa tahun terakhir, seberapa jauh karyawan memenuhi kebutuhan kompetensi dan kualifikasi (sertifikasi, tingkat pendidikan, pengalaman kerja) dari posisi tujuan, tersedianya (kosongnya) posisi tujuan, kesamaan jenis usaha dll.

b. Tentukan apakah perpindahan bagian dapat dilakukan pada setiap tingkatan jabatan atau dibatasi, misalnya, hanya pada tingkat karyawan pemula/junior dan tingkat manajemen saja? Berapa kali seorang pegawai dapat pindah bagian? Beberapa organisasi membatasi pergerakan antar bagian hanya terjadi pada tingkat awal dan senior, sementara yang lain tidak membatasi.
Dalam konteks perusahaan yang banyak ragam kegiatan usahanya seperti di atas, tentukan dulu sejauh mana perusahaan ingin memberikan ruang-gerak bagi karyawan dalam membangun karirnya di dalam organisasi. Bila sangat bebas terbuka, berarti perusahaan perlu membangun karyawan 'generalists', yang memiliki kompetensi untuk bekerja pada berbagai ragam kegiatan usaha. Sementara bila dibatasi, berarti perusahaan cenderung akan fokus membangun karyawan yang fokus pada bidang usahanya. Atau kombinasi di antara keduanya?

Pilihan model yang ada akan memberikan implikasi pada fleksibilitas karyawan dalam membangun karirnya, perencanaan tenaga-kerja maupun investasi perusahaan di dalam mengembangkan kemampuan karyawannya.

2. Bangun peta pergerakan atau pengembangan karir jabatan-jabatan yang ada (career map) berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan pada langkah 1 tadi. Untuk memberikan ruang lebih besar bagi karyawan dalam membangun karirnya di dalam organisasi, beberapa organisasi membangun apa yang disebut dengan dual-career atau multiple-career track(s), yaitu jalur karir manajerial (struktural) dan jalur karir non-manajerial (spesialis).

Jalur karir non-manajerial/spesialis dibangun untuk memfasilitasi pengembangan karir bagi karyawan yang tidak tertarik menduduki jabatan manajerial -- tidak semua orang ingin menjadi manajer, ada yang bahagia menjadi spesialis di dalam disiplin ilmu tertentu.
Karena membangun peta karir relatif membutuhkan waktu yang tidak sedikit, fokuskan pembuatan career map pada posisi-posisi yang relatif penting (kritikal) di dalam organisasi.

3. Bangun SOP (standard operating procedure) termasuk alat-alat tes yang diperlukan untuk membantu karyawan mengetahui bagaimana mereka dapat mengembangkan karirnya di dalam organisasi. Langkah-langkah atau proses apa yang harus dilalui? Misalnya, bagaimana seorang yang baru bekerja dapat menjadi pemimpin divisi/departemen dalam beberapa tahun ke depan? Persyaratan maupun tes-tes apakah yang harus dipenuhi dll. Bagaimana jika seorang pegawai mendapatkan hasil penilaian kinerja yang memuaskan selama 3 tahun berturut-turut? Kemana, kapan, bagaimana dan oleh siapa ia dapat dipromosikan?

4. Perbaiki terus-menerus model yang telah dibangun berdasarkan hasil implementasinya di lapangan dan kebutuhan organisasi, termasuk bila ada perubahan struktur dan strategi perusahaan.
Karena administrasi sistem pengembangan karir itu membutuhkan waktu yang tidak sedikit, persiapkan infrastruktur/teknologi pendukung agar sistem dapat diimplementasikan dengan efisien dan efektif.
Semoga membantu.

 Irwan Rei
Managing Director Multi Talent Indonesia
Selengkapnya »»  

Selasa, 03 Mei 2011

Keunggulan Kompetitif dan Strategis Bisnis Perusahaan




Kecerdasan perusahaan adalah apa yang disebut oleh atlet dan tentara sebagai “kesadaran situasional”. Mereka menempatkan diri mereka baik dalam posisi untuk mengamati apa yang terjadi dan memiliki sarana untuk bertindak berdasarkan kecerdasan mereka.




Kecerdasan perusahaan membangun hubungan formal di luar dinding mereka dengan para pelanggan, mitra, pemasok dan masyarakat umum. Hubungan ini adalah antena mereka di dunia, sensor perubahan, baik mengenai peluang atau ancaman. Secara internal, mereka membaca pikiran para karyawan mereka dengan cara-cara yang berbeda dari perusahaan lain dan menggunakan teknologi untuk melacak apa yang sedang terjadi dalam waktu dekat.


Pelanggan adalah penguji sebenarnya. Tidak ada perusahaan di masa ini yang mengatakan bahwa pelanggan tidak menjadi prioritas utama. Kenyataannya adalah bahwa kebanyakan perusahaan mengabaikan pelanggan mereka. Contoh terbaik dari ketidaktahuan itu adalah industri penerbangan AS.


Adanya tantangan persyaratan keamanan, bahan bakar yang naik, peralatan dan biaya tenaga kerja, sehingga sebagian besar maskapai penerbangan utama AS telah mengurangi kenyamanan dan fiturnya sambil meningkatkan tarif dan berbagai biaya pengadaan mulai dari tempat duduk sampai ke selimut dan pemeriksa tas. Tak perlu dikatakan lagi, penumpang tidak senang dengan biaya atau penurunan tingkat pelayanan. peringkat kepuasan pelanggan dengan perusahaan penerbangan Amerika Serikat terus menurun sejak tahun 2001.


Sementara hampir semua maskapai penerbangan sedang berjuang, orang-orang berusaha memperhatikan kepuasan pelanggan dan melakukan improvisasi dengan memberikan kompensasi pemotongan dan memanfaatkan rasa sakit dari rekan-rekan mereka dan berusaha menarik pelanggan yang kehilangan haknya. Southwest Airlines, perusahaan yang dikenal dengan fasilitas yang biasa, tetapi memberikan perhatian tentang layanan untuk pelanggan, melangkah meninggalkan industri yang lain dengan mencapai poin 79 untuk Indeks Kepuasan Pelanggan Amerika. Rata-rata industri adalah 62 poin pada tahun 2009.


Kecerdasan perusahaan merubah ketidakpuasan pelanggan menjadi keunggulan kompetitif. Dan perusahaan yang cerdas menggunakan metode yang baru dan inovatif dan alat-alat untuk mengukur minat dan kepuasan pelanggan.


FedEx, misalnya, meluncurkan sebuah tool berbasis web yang memungkinkan pelanggan - baik pengirim dan penerima - untuk melacak secara langsung jalannya pengiriman paket di dalam sistem. Netflix, perusahaan persewaan film berbasis web, dan Amazon, penjual buku online terbesar di dunia, yang menggunakan algoritma komplek untuk menentukan preferensi pelanggan, rekomendasi masyarakat dan interaksi pengguna dengan situs Web untuk memprediksi selera film dan membuat rekomendasi pembelian.


Peralatan Baru, Pikiran Baru
Masyarakat terus menjadi sumber inspirasi dan kecerdasan. Dalam produk tradisional dan model pemasaran, perusahaan akan memberikan fokus di pasar sasaran mereka untuk menentukan apakah mereka telah memiliki penampilan, fitur dan pesan yang tepat untuk menjual produk.


Dalam perekonomian yang berbasiskan Web saat ini, perusahaan memanfaatkan aplikasi Web 2.0 dan jaringan sosial seperti Linked In, Facebook dan MySpace-untuk mengumpulkan umpan balik konsumen dan masukan selama melakukan desain dan pemasaran, perusahaan bahkan menggunakan jaringan sosial dan komunitas umum untuk memecahkan beberapa masalah yang paling membingungkan selama desain produk dan pengembangan.


Ada juga yang menggunakan forum terbuka, seperti TechTarget’s Information Knowledge Exchange dan komunitas profesional seperti Linked In untuk untuk mengajukan pertanyaan kepada rekan-rekan untuk memecahkan masalah taktis yang mendesak dan operasional.


Sumber : Article Base

Selengkapnya »»  
Terimakasih Atas Kunjungannya. Semoga Bermanfaat