NKN NEWS STICKER

Akibat imbas debu vulkanik gunung Kelud, di Mojokerto kini langka masker. Bahkan dibeberapa apotik dan swalayan juga habis

Sabtu, 24 April 2010

Prahara Lentera Sutra



Prahara Lentera Sutra.
Sebuah Cerpen : NANGKRIS

Emak dan Yuk Mi dua orang ibu dan anak yang harus selalu sibuk setiap pagi menjelang anak-anak ke sekolah. Karena keluarga sederhana ini hidup dari hasil menjual jajanan anak sekolah disamping pekerjaan Lik Sutra sebagai petugas kebersihan sekolah. Lik Sutra adalah suami Emak yang usianya jauh lebih muda dari usia Emak.

Konon menurut cerita tetangga, lamaran Lik Sutra salah alamat. Dia meminang Yuk Mi tetapi justru yang jadi isterinya adalah Emak, janda beranak satu itu.Saat dilamar Yuk Mi sebenarnya sudah akan dinikahkan dengan pria pilihan Emak, tetapi rencana itu batal hingga akhirnya Yuk Mi harus menjadi perawan tua.Patah hati mungkin?

Rumah keluarga ini mempunyai beberapa petak kamar berjajar. Paling Timur ada gudang yang difungsikan sebagai dapur kemudian sebelahnya ada ruang untuk parkir sepeda. Sebelahnya lagi adalah sebuah kamar yang ditempati kos Mas Herman, seorang pegawai negeri yang baru bekerja beberapa bulan. Sementara Yuk Mi memang berada di petak paling pojok sebelah kamar Lik Sutra .

Aku tahu betul kesibukan keluarga ini termasuk seorang pemuda yang kost di rumah itu. Karena aku hampir setiap hari menjeput Lik Sutra ke rumahnya dan menemani selama perjalanan ke sekolah. Lik Sutra membawa barang-babarang dagangan dengan sebuah sepeda kebo tua yang sudah berkarat. Ada sarung goni di boncengan sepeda itu sebagai tempat alat-alat dapur yang diperlukan untuk berjualan di warung sekolah.

”Gimana Kris, nanti malam kita cari lagi?” Lik Sutra mengawalai pembicaraan kami di sepanajng jalan setapak menuju sekolah Dasar Widodo

”Boleh.Tapi jangan sering ditinggal Pak Lik” jawabku.

”Iya, Pak Lik harus menumbuk bumbu pecel khan, kalau tidak, diomeli eMak” saut Lik Sutra sambil memainkan rokok upetnya di bibirnya yang hitam. Wajah tua Lik, mirip Franconero, bintang film koboi. Jenggot dan cambangnya tajam.

Lik Sutra sering meninggalkan kami berempat, aku, Tito, Karno dan Agus setiap mencari jangkrik di kebun jagung milik haji Fadholi. Suasana gelap apabila malam dipenuhi suara nyaring jangkrik-jangkrik yang menjadi sasaran kami di kebun itu. Apabila kami mengeluh ketakutan karena ditingalnya, maka Lik Sutra selalu memberi semangat kepada kami dengan petuahnya.

”Laki-laki tidak boleh jadi penakut. Rasa takut itu hanya diciptakan oleh pikiran kalian” kata Lik Sutra suatu saat.

Pernah kami dimarahi Emak karena Lik Sutra mengajak kami mencari jangkrik.Mungkin saja Lik Sutra ada masalah dengan Emak. Kami kecewa saat itu tidak membawa seekor jangkrikpun. Namun rencana nanti malam kami harus mendapatkan jangkrik ”jalitheng” yang selalu menjadi incaran kami.

***

Malam ini kami sudah siap mencari jangkrik di kebun jagung haji Fadholi. Dua obor sudah kami siapkan. Aku, Tito dan Karno satu obor, Agus bersama Lik Sutra. Perjalanan kami menuju kebun jagung memerlukan waktu setengah jam. Jalan setapak, sebelah kanan sebuah sungai yang deras airnya. Sungai inilah yang mengairi seluruh sawah di dusun kami. Kebun tebu dan jangung berada di ujung timur setelah areal persawahan.

”Aku nggak nonton lagi film Mannix malam ini” keluh Tito, mengawali pembicaraan setelah setengah perjalanan. ”Aku malu, setiap nonton di rumah pak Lurah, sering ketiduran” lanjut Tito.

”Kalau kamu mau nonton kenapa kamu ikut?,nonton saja” celetuk Karno.

”Jangan terlalu sering nonton TV di rumah Pak Lurah, neneknya cerewet” saran Lik Sutra kepada Tito, mungkin itu juga kepada kami yang juga sering nonton TV di rumah Pak Lurah, satu-satunya di desa kami. TV hitam putih 14 inci merek Johnson yang tutupnya dapat dilipat model harmonika.

”Habis Dunia Dalam Berita sudah pulang, lagian sungkan kalau dibuatkan kopi” lanjut Lik Sutra.

Kami sudah hampir sampai ke tempat tujuan. Sepanjang perjalanan kadang Lik Sutra cerita yang lucu-lucu sehingga membuat kami terpingkal-pingkal. Agus pernah terjungkal di pematang tanaman tebu yang lumayan tinggi. Gara-garanya kami harus menuruti komando Lik Sutra selama berjalan di pematang. Agus selalu berada diurutan ke dua dari depan setelah Lik Sutra. Sesuai komando Lik Sutra, obor baru boleh dinyalakan setelah sampai di kebun jagung.Mungkin ini sebuah efisiensi. Sehingga perjalanan di suasana gelap gulita itu hanya disinari cahaya bulan dan bayangannya di bawah sungai.

”Awas melompat” kata Lik Sutra, ketika melewati batasan pematang, kamipun dibelakangnya ikut melompat.

Suatu ketika, sial, Agus yang berada di urutan kedua itu terjungkal ketika ada pembatas pematang Lik Sutra justru tidak memberi komando,kami melihat nampak langkah Lik Sutra memang tenang. Agus melangkah juga tenang sekali.

”Jegurrrr...” Agus terjatuh ke sungai.

Mengetahui Agus terjatuh, Lik Sutra malah tertawa terpingkal-pingkal. Sepertinya memang disengaja. Tapi kami tetap larut dengan canda dan tawa, seperti larut malam yang menjemput pejalanan ini.Malam ini kami mendapat enam jangkrik jantan yang bagus-bagus dengan bunyi yang nyaring sekali. Agus telah menyiapkan tempat yang terbuat dari bambu yang dipetak-petak seperti rumah tingkat, untuk tempat jangkrik hasil kami masing-masing. Bersyukur Lik Sutra setia menemani hingga pencarian jangkri usai malam ini.

”Sudah, simpanlah jangkrik-jangkrik itu, besok setelah kamu belajar kita cari lagi yang bagus” kata Lik Sutra, sambil membasuh tangannya yang berbau minyak tanah dari obor yang terbuat dari bambu itu.

Lentera obor yang dihasilkan dari batang bambu dengan sumbu kain sobekan kaos itu sebagai lentera yang memberi penerangan bagi kami untuk mencari jangkrik. Pernah suatu malam membawa senter milik bapak yang berbaterei delapan, tapi hilang jatuh di sungai.

Begitulah dalam setiap kesempatan, kami memang anak-anak desa yang penuh kebersamaan apalagi dengan Lik Sutra yang sudah seperti pak lik kami sendiri. Penuh humor, sabar dan sering memberi kami makanan.


***

Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini kami sangat kesal pada Lik Sutra. Rokoknya ketinggalan dan harus kembali ke rumah, perjalanan baru saja beberapa langkah. Sebenarnya setiap berangkat mencari jangkrik, kami penuh kekhawatian ditinggal di kegelapan malam oleh Lik Sutra. Katanya mau kembali dan bergabung tetapi ternyata malah pulang dan tidak kembali. Meski kadang Lik Sutra membawakan kami makanan kecil seperti krupuk,kacang saat meninggalkan kami berempat, tetapi itu tetap membuat kesal.Lebih-lebih Agus merasa sangat kesal.

”Kalau hanya untuk ditinggal, kenapa Pak Lik mengajak mencari jangkrik!” keluh Agus.

Aku memahami perasaan Agus. Karena Lik Sutra sebagai partner mencari jangkrik sering meninggalkannya. Ini juga merupakan kekesalan kami berempat. Terkadang timbul niatan kami untuk menolak ajakan Pak Lik Sutra. Tapi kami sudah terlanjur senang dengan petualangan ini. Melihat eksotisnya pucuk-pucuk daun padi yang ditebari cahaya bulan. Ujungnya menari-nari kian kemari seolah memberi salam menyambut kehadiran kami. Suara katak, suara serangga malam, bagi kami itu adalah suara-suara indah.

Lokasi malam di areal persawahan ini pasti masih lebih indah dari Taman Nasional Kakadu, sebelah timur Darwin,Australia. Menurut cerita Pak Broto tetanggaku yang narsis, seorang pasca sarjana yang pernah belajar Human Resource And Development di Australia, Taman Nasional Kakadu menutupi area seluas 19.804 kilometer persegi, terbentang hampir 200 kilometer dari utara ke selatan dan lebih dari 100 kilometer dari barat ke timur. Bahkan Taman Nasional ini sebesar Israel. Tapi ini tak seberapa dibanding petualangan di areal sawah yang membentang laksana karpet Turki, di dusun Sidomukti yang indah ini.

Seperti kebiasaanku, sepulang sekolah menaruh tas, ganti baju kemudian makan siang. Ibu sedang mengobrol dengan Emak. Aku tengah menikmati sayur lodeh tewel yang dibuat ibu. Ada irisan petai China, lembaran daun jeruk purut, rajangan tahu dengan santan yang kental dan pedas. Ini masih lebih nikmat dari Lasagna, masakan Italia yang penuh daging sapi.Keringat tanpa terasa sudah mengalir di kening dan punggungku yang telanjang. Sepintas aku mendengar obrolan mereka.

Emak dan keluargaku sudah seperti saudara. Karena sebelum mempunyai rumah sendiri Emak menempati rumah sebelah rumahku, itu diberikan secara cuma-cuma oleh Ibu karena Emak juga sering membantu Ibu memasak. Ada yang beda dalam pertemuan Emak dan Ibu kali ini. Aku melihat Emak menitikkan airmatanya saat berbicara sesuatu kepada Ibu.

Aku berpindah tempat, mendekat menuju pintu yang dekat mereka mengobrol. Sepintas aku sudah jelas, tetapi apa sebenarnya yang mereka ceritakan itu benar?Yuk Mi hamil?. Cepat aku selesaikan makan aku ikut bergabung dan duduk di sebelah ibu.

”Astaghfirullah” sayup-sayup kudengar Ibu mengucapkan kalimat ightiar itu.

Akhirnya tanpa menunggu selesainya obrolan kedua orang tua yang aku hormati itu, aku mengambil kaos Adidas warna kuning kusam, meluncur ke rumah Tito.

”Ayo ikut”

”Kemana Kris, penting sekali ya?”

”Sudah ayo, ke rumah Agus, Karno biar kita susul kemudian”

Kebetulan Karno sudah berada di rumah Agus, akupun memanggil mereka menuju kamar tamu di rumah Agus yang rindang. Rumah dinas camat. Bapak Agus seorang camat.

Pelan-pelan, dengan harapan tidak terdengar oleh oarang disekitar kami, aku berbisik kepada tiga temanku itu.

”Hai...Yuk Mi hamil!” kataku.

”Apa?” Karno mengernyitkan alisnya yang berbulu lebat tanda tidak percaya.

”Jangan ngaco kamu Kris!” ancam Agus. Sementara Tito di sebelahku hanya membelalakkan matanya, entah percaya atau tidak.

”Sekarang Emak sedang membicarakan Yuk Mi, Yuk Hamil” kataku.

Mereka mulai kebingungan antara benar dan tidak. Bila benar, kami sangat menyayangkan keluarga kecil sederhana itu harus tertimpa musibah seperti ini. Kami sebenarnya sepakat siang ini akan mengunjungi Lik Sutra di sekolah, tetapi akhirnya kami urungkan menunggu esok hari. Entah apa yang ada di benak teman-temanku. Apakah seperti aku yang selintas mulai menuduh Mas Herman telah berbuat mesum dengan Yuk Mi. Mungkinkah? Tiba-tiba Agus merapat di tempat dudukku,mulutnya didekatkannya di telingaku dan berbisik.

”Ini pasti Mas Herman?” suaranya serak. Sama Gus, seperti yang aku kira, batinku.Karno dan Tito menerawang juga.Entah apa yang mereka angan-angan.

”Apa Gus?” tanya Karno curiga.

“Mas Herman?” kata Agus mengisyaratkan pelakunya adalah Mas Herman.

“Hah?” Karno nyengir pahit, pahit sekali.

”Kalau benar, akau duluan yang akan menghajar pemuda sombong itu” bentak Karno.

”Sombong dan pelit, aku mau meninjunya” sahut Tito

”Kamu-kamu ini seberapa? Mas Herman bukan lawan kita” saranku.

”Aku mau bawa roti kalung” kata Karno.

”Sudah, ayo kita buktikan sebenarnya siapa laki-laki keparat itu?” ajakku kepada mereka yang sudah tak tertahan.

Aku kemudian menyusun strategi dengan teman-teman setiaku itu. Yang akhirnya saling memamahami tugasnya masing-masing. Besoknya, sore, sepulang sekolah kami menemui Lik Sutra.

”Lik, entar malam kita cari jangkrik lagi ya” aku menyapa Lik Sutra yang tengah menurukan perlengkapan jualannya. Tak nampak Emak dan Yuk Mi. Mungkin saja masih di belakang.

”Badanku hari ini pegal-pegal Kris, besok saja ya” jawab Lik Sutra.Meski kami kecewa tetapi teman-teman sangat memahami kondisi Lik sutra. Kami pulang ke rumah masing-masing dengan berbagai pikiran. Kami takut menanyakan hal Yuk Mi, khawatir Lik Sutra marah.

***


Malam yang dijanjikan telah tiba. Pencarian jangkrik malam ini beda dengan malam-malam sebelumnya. Karena Karno tidak ikut dalam petualangan malam pekat ini. Tetapi seperti biasa Lik Sutra tetap seperti apa adanya. Bercerita dan kadang membual. Kami tertwa juga dengan bualan-bualan itu. Karena suatu saat cerita-cerita Lik Sutra itu juga aku ceritakan kepada teman yang lain hingga mereka juga tertawa.Setiba di kebun jagung kami mulai sibuk mencari jangkrik. Suara kepalan tangan yang meninju tanah saling bersautan agar jangkrik keluar dari sarangnya.

Jangkrik atau Familia Gryllidae adalah serangga yang berkerabat dengan belalang. Tubuhnya rata, dengan antena panjang.Binatang ini tergolong omnivora dengan suara yang nyaring yang hanya dimiliki jangkrik jantan. Suara mengerik ini sebenarnya untuk mengikat sang betina dan sebagai ancaman buat jantan lainnya yang mengganggu.

Bersamaan dengan petualangan kami di kebun jangung, Karno malam ini mempunyai tugas cukup berat. Karena dia harus menjaga rumah Lik Sutra yang memang sudah kami rencanakan. Lik Sutra tidak tahu strategi kami ini. Tugasnya adalah menjaga dan mengintip kamar Mas Herman yang telah kami curigai berbuat mesum dengan Yuk Mi, sesuai kesepakatan siang kemarin. Sejauh mana pemuda keparat itu tega berbuat nista!

Tigaperempat jam kami telah berada di perkebunan jagung ini, tiba-tiba Lik Sutra mengeluarkan roti sisir yang hanya tinggal tiga.

”Ini buat kamu, Lik Sutra pulang dulu entar Emak marah” kata Lik Sutra menenangkan kami.

Kami kesal lagi. Tetapi aku berharap mudah-mudahan strategi kami siang kemarin dapat membuka tabir yang tengah menimpa keluarga Lik Sutra. Lik Sutra tidak banyak bercerita tentang musibah ini, mungkin karena aib. Kami melihat obor Lik Sutra yang diselipkan di pelepah pisang itu dihembus angin dan ditelan kedinginan malam, lenteranya berangsur padam Sementara aku juga khawatir keberandaan Karno yang saat ini tengah menjadi petugas pengaman rumah Lik Sutra sekaligus mencari bukti kebenaran keterlibatan Mas Herman dalam kasus hamilnya Yuk Mi. Tidak mustahil lagi orang-orang akan menyumpahi pemuda itu. Karena selama bertahun-tahun keluarga Emak, baru kali ini peristiwa zinah ini terjadi. Keparat, Mas Herman! Yuk Sulasmi yang biasa aku kenal Yuk Mi, berpostur tubuh seksi, sepintas wajahnya mirip Yenny Rachman bintang film Indonesia di era 80an. Itukah yang menggoda lelaki lajang laknat itu?

***


Keesokan harinya di sekolah, Karno mengajak kami berkumpul di belakang tembok pembatas sekolah. Kami hanya berempat, Aku,Karno,Tito dan Agus, tak seorangpun mengetahui kami di belakang sekolah ini. Karno memulai ceritanya dengan matanya berkaca-kaca, hidung yang sudah berwarna merah jambu, menandakan dia telah menyimpan dendam kesumat serta kesedihan dan keharuan kepada keluarga sederhana ini. Apalagi melihat nasib Yuk Mi, atau Yuk Sulasmi. Samar-samar kulihat pipi kiri Karno berwarna merah jambu juga, seperti bekas tamparan.Aku tak tega melihatnya.

”Mas Herman!” kata Karno terbata-bata, sambil meninju pohon pisang di depannya berkali-kali .

”Hai, Karno. Kamu ini berkata apa?Tolong tenangkan dulu perasaanmu itu!” kataku.

”Karno, perasaanku sama dengan kamu saat ini, tapi tolong ceritakan yang sebenarnya semalam” pinta Agus.

”Iya, berceritalah dengan sebenarnya Kar” himbau Tito yang bengong di belakang kami.

”Ayo ikut kalian” ajak Karno. Kamipun merangsak ke arah Timur tembok sekolah yang berbatasan dengan kantor Telkom. Karno seperti ketakutan sekali. Karena biasanya Lik Sutra keluar melalui pintu pagar ini melihat-lihat tanaman pisang yang tumbuh di sepanjang sungai kecil ini.

”Aku ditampar Mas Herman” bisik Karno

”Benar, si keparat itu?” tanyaku

”Ayo..tunggu apalagi.Kita harus melapor ini ke Pak Lurah” sambung Agus agresif.

”Tunggu!.Aku melihat semalam, Lik Sutra memasuki kamar pojok tempat tidur Yuk Mi” kata Karno.

”Lalu?” tanya Agus agak gemetar, seperti aku, mungkin juga Tito.

”Aku telah melihat apa yang dilakukan Lik Sutra di kamar Yuk Mi. Tetapi sial Mas Herman terbangun,memergokiku dan mengejar. Tanpa melihat siapa, ditamparnya aku keras-keras” kata Karno.

”Lalu?” desakku.

”Aku meminta Mas Herman untuk mendengar penjelasanku, sambil kubuka penutup sarung di mukaku, kuajak Mas Herman mengintip apa yang tengah terjadi. Ada Lik Sutra di kamar Yuk Mi” cerita Karno.

”Lalu, bagaimana reaksi mas Herman, Kar?” tanya Agus

”Dia berpesan agar aku merahasiakan ini sampai Mas Herman memintanya nanti”

Aku mulai berkaca-kaca.Aku melihat wajah suram Emak saat menceritakan kejadian ini kepada ibu. Apa nantinya yang akan terjadi bila Emak tahu siapa sebenarnya lelaki yang menghamili Yuk Mi? Ternyata Lik Sutra, yang tak ubahnya seperti penjahat saat kami tahu cerita Karno. Diajaknya kami anak-anak desa yang hanya bisa bermalam-malam, kadang duduk dan ngobrol bersama selepas kami mengaji dan belajar di pos kamling depant rumah Lik Sutra hingga larut. Kami tidak tahu hampir setiap kami berkumpul di pos kamling, Lik Sutra selalu mengajak mencari jangkrik. Dibuatkannya kami obor sebagai lentera penerang di kegelapan malam di kebung jagung. Ternyata ada maksud terselubung yang dilakukan Lik Sutra dengan meninggalkan kami malam-malam di kebun jagung pak Fadholi.

Mas Herman pemuda lajang yang kami angap sombong, pelit ternyata salah kami menilainya. Seperti juga diungkapkan Karno bahwa Mas Herman tidur lelap malam itu. Mungkin karena setiap hari lembur di kantornya menjelang Pemilu.

Biarlah Karno dan Mas Herman yang menjelaskan kebusukan Lik Sutra.Untuk menghindari aib keluarga, Emak akhirnya memindahkan anak satu-satunya itu ke saudaranya di desa. Lik Sutra akhirnya mengakui perbuatannya itu dan menikahi pula perempuan itu. Lentera itu tidak bakalan menyala lagi. Taman lazwardi, hamparan karpet hijau dan musik symponi yang biasanya mengantar kami ke kebun jagung kini sepi. Tanpa ada injakan kaki-kaki anak desa yang dimotori oleh seorang penafsu besar dibalik lenteranya!

Sidomukti, sebuah desa di Kraksaan, 25 km arah Probolinggo.
Bila ada persamaan nama karaker tokoh dalam cerita ini itu hanya kebetulan saja.
Cerita ini murni hasil dari sebuah "imajinasi" Nangkris प्रबुलिंग्गा Wetan.
---

Tidak ada komentar:

Terimakasih Atas Kunjungannya. Semoga Bermanfaat