NKN NEWS STICKER

Akibat imbas debu vulkanik gunung Kelud, di Mojokerto kini langka masker. Bahkan dibeberapa apotik dan swalayan juga habis

Senin, 28 Februari 2011

Kemenangan `Instan` Yang Berakhir Fatal!


Tubuhku tergeletak dengan kondisi setengah sadar di kursi rotan. Ibu bingung harus berbuat apa, melihat  kondisi tubuhku dengan muka yang pucat sesekali meronta-ronta mengerang kesakitan. Ibu sangat mencemaskan keadaanku.

“Nanang…bangun nak. Ini ibu” aku juga tetap tak merespon. Ini bukan bentuk pembalasanku ketika aku selalu bercerita IR kepada Ibu yang selalu tidak merespon.

Karena lama aku terus tidak sadarkan diri ibu berteriak-teriak minta tolong. Ibu menangis. Memikirkan anaknya yang “bagus” tergeletak lemas tak sadarkan diri. Sementara aroma minyak kayu putih dicampur bawang merah meliputi ruang teras dapur. Obat tradisional itu dioleskan Ibu di seputar perutku yang mual , mulas, seperti diremas-remas dan panas.

Aku tidak tau, apa perasaan Ibu saat itu. Apakah takut kehilangan aku. Aku yakin, segala apa yang telah diperbuat Ibu kepadaku terus menghantuinya. Perasaan menyesal saat mencubit pahaku (bhs.jawa:nyetol) bila  aku tidak memberi kabar terlambat pulang sekolah.  Ibu ingin meminta maaf kepadaku? Atau berjanji tidak akan melakukan itu lagi? Walaupun apa yang telah dialkukannya itu merupakan “madu” bagiku untuk tidak berbuat itu dikemudian hari.

Bude Soekram, ibunda Jon, datang membawa sabun yang sudah dibentuk seperti jari telunjuk. Yang kemudian dimasukkan ke duburku. Aku tetap tak berreaksi. Kakak permpuanku Mbak Eny, membawa kelapa muda yang dipanjatnya di pekarangan depan rumah, orang jawa bilang degan ijo. Konon air kelapa muda hijau ini dapat membunuh racun yang bersemayam ditubuh. Biasanya digunakan untuk orang yang keracunan.

Perlah-perlahan ibu memaksa mengguyur mulutku dengan degan ijo ini. Terus menerus. Ibu pasti tak lupa berdoa agar aku segera siuman dari tragedy ini. Terus itu Ibu lakukan seperti “menggelonggong” sapi potong , agar berat badan sapi menjadi berat dan berharganyapun tentu  mahal.

Ibu semakin cemas. Bapak dan kakak-kakakku yang lain tak ada di rumah. Sementara udara panas di kemarau awal itu menyengat  wilayah pesisir di desaku.

“Hueeek….huweekkk…huweekk” aku muntah. Ini sebagai reaksi air kelapa muda yang hangat mulai merasuk dan menyejukkan rongga perutku. Ada beberapa buah  biji cabai rawit dalam muntahanku. Jelas biji cabai rawit itu tak tercerna oleh ususku. Adajuga mangga muda yang juga tak tercerna dengan sempurna.

Aku berkeringat dan mulai siuman. Ibu memciumiku berkali-kali dan…menangis! Bude Soekrampun kelihatan agak lega. Ibu menyeka keringat yang mengguyur tubuhku sambil menyeka kening dan melepas kaos bertulisan Bali yang saat itu kukenakan. Ibu mencium aku lagi. Aku masih lemas dan masih terasa mual dan sedikit pusing. Hanya kakaku Mbak Eny keliahtan masih terus cemas. Betapa tidak, Mbak Eny lah yang mengajak lomba makan rujak mangga muda dengan garam dan cabe. Dalam lomba itu Mbak Eny membuat suatu  ketentuan siapa yang lebih cepat menghabiskan irisan mangga mudah yang telah ditakar sama, dan merasa tidak pedas itulah pemengnya. Dasar aku. Yang selalu ingin menjadi jagoan dan terus ingin menjadi terbaik dan menang, segala cara aku tempuh. Termasuk dalam lomba ini.

Kulihat Mbak Eny, saat itu,   dengan seksama mengunyah irisan mangga. Dan kulihat irisan mangga ditangannya juga masih banyak . Aku mulai memasang strategi. Aku mengunyah mangga dan cabe rawit ala kadarnya yang penting segera masuk dalam rongga perutku dengan cepat. Bahkan cabe rawit dan garam aku telan begitu saja tanpa aku kunyah. Begitu aku ulang terus menerus tanpa mengetahui akibat yang akan aku rasakan. Pada ahirnya aku hamper saja mengalami hal yang fatal. Dan membuat Ibu cemas melihat akibat dari kecerobohanku itu.

Ibu sempat marah kepada kami, saat aku ceritakan sebab akibat aku menjadi lemas seperti batangan tebu yang telah digiling diambil airnya.

Akan selalu aku ingat. Kemenangan dengan proses yang instant akan membuahkan hal yang fatal. Kemenangan harus melalui proses yang telah ditentukan. Tanpa ada penyimpangan sedikitpun. Namun terkadang manusia diburu oleh target-target kemenangan dengan cara-cara instant. Sehingga ada beberapa proses yang dilewatkan. Bahakan sedikitpun tidak melalui proses.

Akhirnya kemenangan instant ini banyak memberikan filsofi bagiku untuk memamahami proses yang harus ditaati. Hampir saja kemenangan yang aku capai dalam ceritaku ini membuat hal yang fatal. Maaf Ibu!

Semua kemenangan tentulah direncanakan. Dengan strategi apa kemenangan itu bisa dicapai, tergantung siapa lawan kita. Muhammad Ali, petinju legendaries Amerika diberi julukan `si mulut besar` lantaran dia selalu membuat psywar dengan mengolok-olok terlebih dahulu setiap lawan mainnya di ring tinju.(dari catatan:Di Sudut Sidomukti)

Tidak ada komentar:

Terimakasih Atas Kunjungannya. Semoga Bermanfaat