NKN NEWS STICKER

Akibat imbas debu vulkanik gunung Kelud, di Mojokerto kini langka masker. Bahkan dibeberapa apotik dan swalayan juga habis

Kamis, 23 Februari 2012

Rindu Yang Terhenti

Oleh:Nanang Kristyo Nangkris
 (bila ada kesamaan kejadian, nama, itu hanya kebetulan belaka)
"Kamu harus seperti mama, bangun pagi siap-siap ke kantor. Ayo mandi sarapan dan cepat sekolah"

"Tapi benerin dulu anten TVnya, aku nggak bisa lihat kartun"

"Loh, apa mama bilang, ini sudah jam setengah tujuh, sebentar lagi pak Saman menyusulmu, ayo cepat mandi!"

"Nggak..enggak...TVnya dulu ma"

"Nggak usah, kamu harus cepat mandi", maka sejurus kemudian menangislah Ana sejadi-jadinya. Tapi anak enam tahun itu malah dicubit oleh mamanya yang bersiap-siap segera ke kantor. Sementara Sarti, pembantunya, bengong tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ana terus saja menangis, tetapi mamanya terus melakukan aktivitas persiapan ke kantor sampai kemudian harus berangkat.

Situasi itu hampir terjadi setiap hari. Setelah mamanya berangkat ke kantor, Ana malah memutuskan untuk tidak sekolah, bersama mbak Sarti di rumah. Seketika pak Saman datang dia kecele, seperti hari-hari sebelumnya Ana malas bersekolah.

Hari-hari terus dialakuinya bersama Sarti pembantu yang sudah bertahun-tahun membantu di rumah itu. Bahkan Sarti sudah seperti ibu kandungnya daripada Ratna , mamanya. Sepulang dari kantor sekitar jam 8 malam , seperti biasa Ratna selalu menanyakan hasil sekolah Ana. Tapi kekecewaan yang didapatinya , karena putrinya itu mogok ke sekolah.

Lagi, terjadi amarah yang luar biasa. 

"Mama ini kerja sampai malam untuk kamu. Kamu harus menurut mama. Ayo besok harus sudah kembali ke sekolah lagi!" bentak Ratna. Ana hanya membisu. Seolah ada kata yang tersimpan dan tabu diucapkannya kepada Ratna , ibu yang melahirkannya itu.

Belum sempat bercengkerama, Ratna sudah mewajibkan putrinya itu tidur, sama seperti hari-hari kemarin. Agar Ana tidak terlambat ke sekolah. Meski dengan perasaan marah, Ana tetap harus menuruti mamanya , tidur untuk menjemput hari esok yang sama. Ana ingin cepat-cepat malam berlalu agar esok segera bertemu Sarti, pembantu yang sangat memahaminya.

Hari minggu tak dirasakan Ana seperti anak-anak lainnya. Karena dia harus belajar , karena waktu-waktu mamanya tidak dapat memberikan pendampingan saat Ana membutuhkannya. Seolah Ana merasakan disorientasi pada orang tuanya yang sebenanrya sangat menyanginya. Mama terlalu egois, mama tidak mengerti perasaan, mama jahat! demikian ketuk hatinya.

Demikian hari-hari berlalu, rumah menjadi sepi. Orang-orang tak mau menaruh peduli pada, karena di komplek ini hampir semuanya sibuk sendiri-sendiri. Hingga tak heran Ana akhirnya terkadang mencurahkan isi hatinya itu pada tetangga depan rumahnya. Seperti masa kanak-kanak, curhat itu hanya berkisar pada tingkah laku orang tuanya.

"Rumah Bu De ini bagus" kata Ana suatu ketika
"Loh masak rumah Bu De begini bagus? Bagus rumahmu to?"
"Nggak, rumahku jelek, aku seneng di rumah Bu De! Aku seneng sama Bu De, nggak sepeti mama jahat!" 
"Heh, anak mama tidak boleh berkata seperti itu An"
"Biar mama memang jahat!,"

Ada satu hal yang selalu dipesankan Ana kepada Bu De:
"Bu De jangan bilang-bilang mama kalau aku ke sini ya" demikian setiap kali Ana pamitan pulang.

Bagi Ana , percuma saja pulang ke rumah yang kosong dan sepi. KAlaupun ada mahkluk yang datang paling-paling hanya marah, menuntut dan tak pernah menuruti kata hatinya. Bahkan seolah dirinya hanya sebagai objek penghalang karir mamanya. Selalu membuat repot mamanya dan tak mau mengerti mamanya.

Pada suatu ketika hingga tengah malam mamanya belum pulang, Ana berada di rumah Bu De 

"Sebentar lagi mamamu pulang cari kamu An"
"Biar aku di rumah Bu De saja"
"Loh sayang, kamu nanti dmarahi sama mama, ayo nak pulang, kasihan mbak Sarti di rumah sendirian"
"Nggak!"
"Apa kamu nggak kangen sama mama?, ayo pulang kasihan mama nak"
saat  Ratna mengetahui anaknya itu di rumah Bu De, dia menghampiri rumah yang berada di depan rumahnya itu! dengan tanpa ada perkataaan sepatahpun, hingga sulit untuk diceritakan.

Sepertinya Ana kehilangan sebuah sikap kepada mamanya. Kalau saja dia bisa membuat list tentang apa yang diinginkannya kepada mamanya, mungkin tidak terhingga. Namun percuma, apa yang dia inginkannya tidak akan didapatinya, seperti sikap Bu DE kepada anak-anaknya, keculai kewajiban belajar dan mengerti kesibukan mamanya! Benar saja saat bu De menanyakan apakah Ana tidak merindukan mamanya yang seharian hingga malam bekerja untuknya, Ana dengan tegas mengatakannya . Tidak!, sepertinya rindu itu sudah terhenti!***nangkris83@gmail.com

Tidak ada komentar:

Terimakasih Atas Kunjungannya. Semoga Bermanfaat