NKN NEWS STICKER

Akibat imbas debu vulkanik gunung Kelud, di Mojokerto kini langka masker. Bahkan dibeberapa apotik dan swalayan juga habis

Senin, 26 September 2011

Jalan Terjal Mahmud Abbas


Monday, 26 September 2011

Kita terpesona menyaksikan seorang tua berambut putih, usianya 76 tahun, menyungging senyum, mengayunkan langkah dengan percaya diri di pusat Kota New York, Amerika Serikat, Jumat pekan lalu. Ia, Mahmud Abbas, Presiden Otoritas Palestina, khusus datang melamar agar Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima Palestina sebagai anggotanya yang ke-194. Tak usah tergesa-gesa, katanya dengan tenang kepada anggota Dewan Keamanan, pelajari proposal itu baik-baik sebelum memutuskan.


Lelah menunggu negosiasi yang tak kunjung bersambung sejak September tahun lalu, Palestina potong kompas: mengabaikan Israel dan melamar menjadi negara anggota PBB. Dua negara langsung kebakaran jenggot. Israel dan sekutu utamanya, Amerika Serikat, cepat-cepat mengancam Palestina agar mengurungkan niatnya. Berbicara dengan Abbas pekan lalu, Amerika berjanji memveto langkah ini dalam Sidang Dewan Keamanan kelak.

Sedangkan Prancis mencoba membujuk. Jika Abbas membatalkan manuvernya, Palestina bisa diusahakan mendapat status seperti Vatikan, anggota PBB yang bukan negara tapi berstatus lebih baik dari entitas pengawas. Israel masih saja menggarisbawahi pentingnya negosiasi, seraya kembali melancarkan retorika sebagai korban: hidup tanpa ketenangan dikelilingi tetangga yang menginginkan kehancurannya.

Sebenarnya Palestina menempuh jalan yang terjal. Untuk memperoleh pengakuan sebagai anggota PBB, negeri kaum intifadah itu membutuhkan persetujuan 15 anggota Dewan Keamanan. Sebelum sampai di situ, mereka juga harus mendapatkan dukungan dua pertiga dari 193 anggota Majelis Umum. Sudah bisa dibaca, Abbas tak akan mengalami kesulitan mengumpulkan dukungan Majelis Umum. Namun bisa dipastikan ia akan dihadang anggota Dewan Keamanan yang memiliki hak veto seperti Amerika.


Namun Abbas harus diakui pandai berbicara dalam "bahasa" yang dipahami semua orang--terutama negara muslim Timur Tengah: demokrasi. Ia mengusulkan sesuatu yang paling mendasar dalam demokrasi, yakni kemerdekaan sebuah bangsa. Tak ayal lagi, jatuh cintalah masyarakat internasional kepadanya. Dukungan pun mengalir.


Apa boleh buat, kini semakin tercorenglah citra Amerika dan Israel dari masyarakat internasional. Bukankah Presiden Amerika Barack Obama sendiri, ketika berpidato di Majelis Umum PBB pada 23 September tahun lalu, mengungkapkan harapan akan Palestina yang merdeka dan hidup berdampingan dengan Israel pada 2011 ini. Sedangkan Israel, negeri yang kini dipimpin Benjamin Netanyahu, ambil bagian menghentikan negosiasi damai Palestina-Israel dengan melanjutkan pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat. 


Israel semakin terpuruk. Apalagi ia tengah menghadapi masalah besar dengan dua mitra muslimnya: Mesir dan Turki. Hubungan Israel dan Mesir tegang setelah pasukan Israel menewaskan penjaga keamanan Mesir di Sinai bulan lalu. Kontak Israel dan Turki juga memanas setelah Israel menolak minta maaf atas tewasnya beberapa aktivis Turki dalam kapal kemanusiaan Mavi Marmara yang diserbu pasukan komando Israel.


Terlalu naif kalau kita berharap bahwa semua anggota Dewan Keamanan akan menyambut baik proposal ini tanpa kecuali. Namun langkah ini akan jelas menunjukkan bukti elitisme dalam diri PBB dan ketidakadilan Dewan Keamanan, khususnya dalam menangani masalah Palestina. Tak apa, dengan dukungan dunia internasional yang kian masif, posisi tawar Palestina tampaknya akan semakin baik. 
Korantempo 26/9




Tidak ada komentar:

Terimakasih Atas Kunjungannya. Semoga Bermanfaat