NKN NEWS STICKER

Akibat imbas debu vulkanik gunung Kelud, di Mojokerto kini langka masker. Bahkan dibeberapa apotik dan swalayan juga habis

Jumat, 23 September 2011

Ruang Publik di Media Sosial Mulai Diperebutkan


Friday, 23 September 2011


YOGYAKARTA -- Ruang publik di media sosial, seperti Facebook dan Twitter, kini menjadi lahan yang diperebutkan berbagai pihak untuk agenda masing-masing. Ini karena media sosial diyakini bisa memperkuat impak dari isu-isu offline--di luar jaringan elektronik. Dosen di University of Manchester, Inggris, Yanura Nugroho, menyatakan hal ini dalam konferensi internasional Social Media Culture: Political, Economic, Social, and Journalistic Challenges di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta kemarin.

"Bahkan di Indonesia ada partai yang memerintahkan anggotanya untuk membuat akun Twitter dan mulai ngetwitt," kata Yanuar. Dia membawakan presentasi bertema "Citizens in @ction: Social Media in the Contemporary Civic Activism in Indonesia.

Turut menjadi pembicara utama adalah Merlyna Lim, Phd, dari Arizona State University, Amerika; Dr Cherian George dari Nanyang Technological University, Singapura; dan Profesor Martin Loffelholz dari Ilmenau University of Technology, Jerman.

Menurut Yanuar, dengan sekitar 39,6 juta pengguna Internet, Indonesia saat ini merupakan pasar nomor dua terbesar di dunia bagi Facebook (35,2 juta) dan ketiga terbesar bagi Twitter (4,9 juta). Kian terjangkaunya telepon seluler serta karakter kultural orang Indonesia yang guyup dikatakan menjadi penyebab pesatnya perkembangan penggunaan media sosial.

Dalam sebuah penelitian pada 2010, Yanuar menemukan bahwa di Indonesia media sosial telah mulai digunakan secara terencana. Ini positif, menurut dia, karena interaksi yang dinamis dan terencana merupakan syarat bagi sebuah kampanye yang berhasil di media sosial.Meski demikian, belajar dari Arab Spring, Merlyna Lim mengatakan media sosial sendirian belum cukup untuk menggerakkan massa.

Meneliti penggalangan demonstrasi di Mesir, Merlyna menyimpulkan, untuk mengubah aktivitas online menjadi gerakan masyarakat yang sebenarnya di jalanan, media sosial harus punya tautan pada media lama, tradisional, besar, dan kecil. "Soalnya media sosial tidak memiliki kekuatan memaksa," katanya.

Menyadari kian pentingnya media sosial, menurut Profesor Loffelholz, saat ini 70 persen perusahaan di Jerman telah memiliki departemen yang secara khusus menangani media sosial. Meski demikian, baru sekitar 10 persen yang sudah secara serius terlibat dalam media sosial.

Secara umum para pembicara sepakat, untuk memaksimalkan peran media sosial ke depan, dibutuhkan lebih banyak analisis atas jejaring sosial. "Jadi konsentrasi kajiannya bukan lagi teknologi," ujar Cherian George. | ADDI MAWAHIBUN IDHOM | PHILIPUS PARERA

Tidak ada komentar:

Terimakasih Atas Kunjungannya. Semoga Bermanfaat